PROSESI ritual dari darat hingga ke laut melibatkan delapan suku di Desa Ternate yang tampil dengan symbol dan atribut suku masing-masing, sekaligus memperkenalkan delapan motif tenun ikat dari delapan suku tersebut. Sebagaimana dikemukakan Bakhtiar Lumang dari Suku Uma Aring kepada alorpos.com, di sela-sela pembukaan Festival Makan Baru dan Tenun Ikat di Umapura, bahwa kedelapan suku tersebut yakni Suku Uma Kakang, Uma Tukang, Uma Aring, Sifalu Bawa, Sifalu Atas, Kalaelang, Tolang dan Suku Biatabang.
Adi Gerimu sebagai salah satu “arsitek” yang ikut bersama Camat Alor Barat Laut (Abal), Martin De Porres Djeo dan Ketua TP.PKK Abal, Liem Odja mengemas Festival Makan Baru dan Tenun Ikat di Desa Ternate itu, mengatakan bahwa festival diawali dengan show atau demo tentang bagaimana proses menghasilkan selembar kain tenun ikat, mulai dari awal, seperti memintal kapas menjadi benang, membuat pewarnaan alami dan menenun.
Motif masing-masing suku, kata Adi Gerimu berdasarkan penuturan tokoh adat Umapura, bahwa punya sejarah sendiri-sendiri. Ukuran kain tenun juga berbeda-beda antar ke delapan suku yang ada, tergantung strata masing-masing suku, misalnya antara suku Uma Kakang, Uma Tukang dan Uma Aring tentu ukurannya berbeda.Setelah demo menenun, dilanjutkan dengan ritual ke laut.

Saat rirtual ke laut, kisah Adi Gerimu, perwakilan anak perempuan dari masing-masing suku beriringan menuju laut, dipimpin oleh para kepala suku. Mereka membawa berbagai bahan sesajen, termasuk potongan-potongan tali ikat dan benang-benang dan sejenisnya, berjalan masuk ke laut hingga air setinggi lutut orang dewasa. Kemudian mereka berenang, laksana ‘memeluk’ laut, seraya melarungkan berbagai potongan bahan yang mereka bawah ke dalam laut, sembari memohon maaf kepada leluhur, jika ada khilaf dan salah yang mereka lakukan dalam menjalankan usaha menenun maupun melaut selama setahun.
Para perempuan penenun itu berenang ke sana kemari dengan keyakinan untuk melepas segala kepenatan dan lelah selama menjalankan usaha menenun. Dan diyakini, setelah itu mereka akan sehat dan sembuh dari sakit seperti reumatik atau nyeri persendian dan sebagainya. Bahkan dengan ritual ke laut tersebut, ibu-ibu penenun mengaku kadang mendapat bisikan leluhur di malam hari, tentang bagaimana menemukan bahan pewarna alami untuk benang tenun ikat.
Pantauan alorpos.com, Sabtu (27/3/2021) prosesi ritual tersebut berlangsung sukses dalam rangkaian Festival Makan Baru dan Tenun Ikat di Umapura-Pulau Ternate, Desa Ternate, Kecamatan Alor Barat Laut, wilayah yang dipimpin camat Martin De Porres Djeo,S.IP itu.

“Kami melakukan ritual ini mau memberitahukan kepada semua orang di Kabupaten Alor, bahkan di luar daerah bahwa inilah asal usul dan hasil dari tenun ikat,”kata tokoh adat Umapura, Bakhtiar Lumang dari Suku Uma Aring.
Menurut Lumang, ritual itu untuk menghormati leluhur yang telah mewariskan keterampilan menenun dari generasi ke generasi hingga kini. Ritual inipun punya hubungan dengan laut.
“Kenapa kami harus ke laut, di mana ibu-ibu penenun harus menceburkan diri ke laut sambil membawa dan berenangan ke sana ke mari. Atraksi di laut itu memberi gambaran kepada kita bahwa saat ibu-ibu itu berenang ke sana ke mari, mereka mencari di manakah orang-orang tua yang telah mendahului kami, orang-orang tua yang dahulu mengajarkan tenun ikat kepada kami. Ampas-ampas bahan pewarna alami, potongan-potongan tali dan benang ikat yang mereka larungkan ke laut, sebagai tanda bahwa mungkin selama setahun ada khilaf dan salah yang mereka lakukan, maka dilepaskan ke laut agar dibawah pergi oleh arus laut,”kisah Bakthiar Lumang dalam sapaannya di acara pembukaan festival dimaksud.
Ritual laut itu juga, tandas Lumang, untuk meminta agar rejeki laut dapat menghampiri suami masing-masing pada saat mencari nafkah sebagai pelaut. Kepala Desa Ternate, Rahman Kasim bersama warganya sukses merawat budaya dan keterampilan warisan leluhur, dan ditampilkan dalam ajang festival tingkat desa yang dibuka Bupati Alor, Drs.Amon Djobo, dihadiri pihak Dirjen Kebudayaan pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan sejumlah desainer top Jakarta seperti Samuel Watimena dan Mardi Sihombing. (ap/linuskia)