Sepanjang Pendeta Tak Mau Berubah, Masyarakat Tidak Bisa Berubah

author
1
4 minutes, 47 seconds Read

alorpos.com__JUDUL berita ini merupakan pernyataan Dr.Pramudianto,M.Min.,M.M.,P.C.C., dari Universitas Atma Jaya Jakarta yang menjadi narasumber dalam Pelatihan bertajuk Leader As Coach (pemimpin sebagai pelatih) bagi Pendeta GMIT Tribuana Alor, Senin (10/7/2023) di Gereja Betlehem Lipa Kalabahi. Kegiatan ini atas prakarsa Yayasan Pendidikan Kristen (Yapenkris) Pingdoling Alor yang dipimpin Dr.Fredik Abia Kande,S.Pd.,M.Pd ini, dibuka oleh Pdt.Yahya Milu,S.Th., selaku Ketua Bidang Pendidikan Sinode GMIT. Hadir pula Asisten II Setda Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ganef Wurgianto. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian dari Launching Kebijakan Re-Branding, Pelatihan Kepemimpinan, Workshop Implementasi Kurikulum Merdeka, dan Forum Koordinasi Stakeholder Sekolah GMIT di Alor.
Mengawali materinya, Dr.Pamudianto mengapresiasi para pendeta se Tribuana Alor, karena menurut dia tidak mudah mencari pendeta yang mau melayani di pelosok-pelosok. Selanjutnya Pamudianto menginformasikan, bahwa dia membuat buku Teacher Master Coach, yang kemudian dipakai oleh Menteri Pendidikan Indonesia untuk menjadi bahan ajar guru penggerak dan sekolah penggerak. Akademisi asal Klaten Jawa Tengah inipun mengaku sedang membuat yang namanya Merdeka Berpikir.
“Ini adalah sebuah proses, kalau bapa ibu mau memperbaharui masyarakat kita. Bisa memperbaharui masyarakat di Alor, jika para pendetanya mau berubah. Sepanjang pendetanya tidak mau berubah, maka masyarakat Alor tidak bisa berubah. Saya empat tahun berada dalam dunia pendidikan di 81 sekolah, dimana ada 34.700 siswa dan 2.500 guru. Sekolah itu awalnya adalah dari gereja, dari kepedulian gereja, para pendeta dan preisbiter. Tetapi saat saya mau legalisir ijazah SD, sekolah saya sudah tidak ada. Kami Gereja Kristen Jawa juga punya Yapenkris. Sekian puluh, sekian ratus sekolah kami tutup karena tidak pedulinya gereja, tidak pedulinya pendeta,”kisah Pamudianto.

Sejumlah Pendeta GMIT saat mengikuti pelatihan di Gereja Betlehem Lipa Kalabahi

“Baru pada Tahun 2004, saya masuk di Sinode. Kita pelan-pelan memperbaiki satu per satu, menyadarkan para pendeta bahwa anak-anak kita yang ada di sekolah itu akan dirumahkan. Sekolah akan tutup kalau gereja tidak mengirim siswanya, gereja tidak bisa membayar. Maka mungkin sekian puluh tahun akan terjadi kemerosotan gereja kita,”tandas Pamudianto.
Menurutnya, jika para pendeta punya hati untuk merubah budaya pendidikan di Alor, maka itu ada di tangan para pendeta yang ada sekarang. Maka dia akan mengajak para pendeta untuk belajar bersama, apa yang mau dilakukan.
“Apa yang membuat saya memberikan Tema Khusus, Jesus Is A Coach. Karena saya ingin pendeta melihat sebuah perspektif tentang peran Yesus yang selama ini dikenal sebagai seorang Guru, sebagai Nabi, sebagai Juru Selamat. Tetapi saya ingin mengajak para pendeta untuk melihat sisi Yesus sebagai seorang Coach (pelatih). Apa yang dimaksud dengan Coach, kita sama-sama menelusuri. Kalau bapak/ibu (pendeta) mau berpikir melompat, sehingga masyarakat kita juga bisa melompat dalam bertransforamsi, pendeta juga bisa melompat dalam bertransformasi,”tegas Pamudianto.
Ia menjelaskan, bahwa ada tiga tahap. Tahap pertama yang tidak mudah yang disebut hard learn. Bapak/ibu, lanjut Pamudianto, ketemu saya, ketemu ilmu baru, maka bapak/ibu harus mengosongkan pikiran, harus benar-benar kosong. Karena kalau tidak kosongkan pikiran, demikian Pamudianto, ilmu apapun yang akan diterima akan ditolak..
“Seperti Yesus katakan, barang siapa yang mau mengikuti Aku, pertama harus menyangkal diri. Menyangkal diri itu mengosongkan pikiran kita. Karena ketika bapak/ibu sudah berusia sudah 35 tahun, di dalam otak sudah ada prinsip, dogma, keyakinan, pengalaman yang menetap dalam otak bapak/ibu bersama dengan masyarakat, gereja dan budayanya. Begitu ada ilmu baru, bapak/ibu tidak mengosongkan pikiran, maka ilmu baru itu akan bapak/ibu benturkan. Ketika bapak/ibu benturkan, pasti ilmu baru akan tidak bisa diterima,”jelas Pamudianto.

Para Pendeta GMIT Tribuana serius menyimak materi yang disampaikan Dr.Pramudianto

Karena itu, sambung Pramudianto, setiap kali menerima ilmu baru, kosongkan pikira dulu, menyangkal diri dulu. Karena barang siapa yang tidak bisa menyangkal dirinya, maka egoisnya akan muncul.
“Ah saya sudah tahu, ah dia tidak tahu Alor, ah dia kan tidak tahu Theologi. Kalau demikian dalam pikiran kita, maka bapak/ibu tidak bisa menerima ilmu baru,”tegasnya.
Langkah yang kedua, setelah menyangkal diri, yakni pikul salib. Ia menerangkan bahwa pikul salib itu belajar. Kalau tidak belajar, sama saja dengan tidak pernah memikul salib.
“Bapak/ibu berada di sona nyaman, tidak berpikir lagi. Yang menjadi persoalan adalah, kita manusia sok tahu, sehingga ketika ada sesuatu ang baru, dia selalu tolak. Jadi bapak/ibu setelah menyangkal diri, harus ikut Aku, ikut Yesus. Mengikut Yesus itu tidak berdiam diri, tetapi berjalan bersama Yesus. Artinya, ilmu yang bapak/ibu dapatkan sekarang ini, mulai diaplikasikan, mulai diimplementasikan. Dalam proses ilmpelementasi itu, bapak/ibu mulai campur dengan pengalaman, dogma-dogma, keputusan-keputusan Sinode, peraturan-peraturan Sinode, sehingga dalam proses mengikut Yesus dengan ilmu yang baru, disebut kontekstualisasi,”tandasnya dalam kegiatan yang dmoderatori oleh Maria Orpa,S.Th itu.

Ketua Yapenkris Pingdoling, Dr.Fredik A.Kande,S.Pd.,M.Pd (kiri) memperlihatkan baju yang baru diterimanya dari Dr.Pramudianto

Sebelumnya, Ketua Yapenkris Pingdoling Alor, Dr.Fredik Abia Kande,S.Pd.,M.Pd., dalam sapaan menyampaikan kegembiraannya atas kehadiran Dr.Pamudianto untuk memberikan materi kepada para pendeta. Menurut mantan Rektor Untrib Kalabahi ini, sekolah-sekolah GMIT adalah sekolah berbasis komunitas, sekolah milik gereja, sehingga beda dengan sekolah negeri. Karena berbasis komuniyas, maka Kande berpendapat bahwa harus mendayagunakan sumber daya komunitas, seperti jemaat-jemaat GMIT yang ada di Tribuana Alor, para pendeta, Ketua Majelis Klasis serta pemerintah daerah.
“Maka pilihan untuk melatih para pendeta ini dalam rangka mendayagunakan komunitas, sehingga di masa depan bisa memberikan efek kepada sekolah-sekolah yang adalah milik jemaat, milik gereja,”ujar Kande.
Ia sangat berharap agar pasca kegiatan ini dapat memenuhi apa yang sudah dirancangkan pihak Yapenkris Pingdoling sebagai agenda perubahan, dapat dilaksanakan dalam semangat persekutuan.
Sedangkan Ketua BPP Pendidikan GMIT, Pdt.Jahja A.Millu,S.Th ketika membuka kegiatan ini pada intinya menekankan bahwa pendeta adalah siswa di antara siswa, karena pendeta adalah seorang pengajar di antara jemaat-jemaat. (ap/linuskia)

Similar Posts

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *