DINAS Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Wilayah Kabupaten Alor, terus mengembangkan areal penanaman pohon penghasil minyak kayu putih Alor.
Kepala UPTD KPH Wilayah Kabupaten Alor, John Kawatung,S.Hut kepada alorpos.com pekan lalu di ruang kerjanya menjelaskan, bahwa di Tahun 2021 ini pihaknya terus mengembangkan luas areal penanaman anakan pohon penghasil minyak kayu putih di Alor. Pasalnya, karena kayu putih di Alor menghasilkan minyak kayu putih yang sangat berkualitas. Menurutnya, kualitas minyak kayu putih Alor termasuk yang terbaik, mengalahklan produksi minyak kayu puitih di Maluku dan Sumatra, sehingga mulai diminati pasar di luar daerah.
Karena itu setiap tahun pihaknya tetap memperluas areal penanaman anakan kayu putih demi menjaga keberlanjutan produksi minyak kayu putih Alor ke depannya. Perluasan areal penanaman itu menurut Kawatung, menggunakan pola pemberdayaan masyarakat, sehingga berlokasi di lahan milik masyarakat.
“Tahun ini kami kembangkan di 10 desa, yakni enam desa di Kecamatan Pantar dan empat desa di Kecamatan Alor Barat Daya,”tandas pejabat low profile ini.
Ia merincikan, untuk enam desa di Kecamatan Pantar seluas 200 hektare, tersebar di wilayah Desa Boweli, Madar, Bandar, Baolang, Bukit Mas, dan Desa Pandai. Sedangkan empat desa di Kecamatan Alor Barat Daya, kata Kawataung, seluas 150 hektare, tersebar di Desa Moremam, Halerman, Probur dan Desa Probur Utara.
“Sepuluh desa ini dipilih karena memiliki lahan yang cukup serta iklim yang cocok untuk pengembangan pohon penghasil minyak kayu putih di Tahun 2021 ini, dengan dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk lahan milik masyarakat seluas 350 hektare,”tandas Kawatung.
Sedangkan yang telah ditanam di kawasan hutan dan sudah memberikan hasil bagi masyarakat saat ini, papar pria asal Kabupaten Lembata ini, yakni seluas 150 hektare di Alor Barat Daya dan 200 hektare di Kecamatan Alor Timur. Meski berada di kawasan hutan, tetapi Kawatung menegaskan bahwa hasilnya dipanen masyarakat setempat dan dibeli oleh instansinya.
“Ini program dengan pola pemberdayaan masyarakat. Tidak seperti dulu, masyarakat dilarang mengambil hasil tanaman kehutanan dari kawasan hutan seperti yang terjadi pada kawasan hutan cendana di Omtel-Kecamatan Kabola, dan akhirnya dicuri oknum-oknum tak bertanggungjawab,”ujar Kawatung.

Untuk pengembangan pohon penghasil minyak kayu putih saat ini, lanjut Kawatung, dengan melibatkan masyarakat sejak awal sehingga mereka yang memungut hasilnya. Apalagi, demikian Kawatung, pohon yang ditanam pada kawasan hutan milik masyarakat, maka hasilnya menjadi milik masyarakat. Dia menghimbau masarakat di lokasi pengembangan agar menjaga dan merawat pohon tersebut karena daunnya akan dipanen dua kali dalam setahun, dengan harga Rp 1.500/Kg basah.
Bahkan di tahun 2021 ini, ungkap Kawatung, pihaknya sudah menjual produksi minyak kayu putih Alor ke Pulau Jawa sebanyak 70 Kilo Liter. Jumlah itu kata dia, dari hasil sekali panen daun pohion kayu putih, karena dalam satu tahun dua kali panen, dengan hasil produksi mencapai 120-an Kilo Liter. Kawatung menyebut siklus dua kali panen daun kayu putih dalam setahun yakni pada bulan Februari-Maret dan bulan Oktober-November.
Menurut pejabat kehutanan sejak jaman Kadis Kehutanan Kabupaten Alor dijabat Drs.Buce Huan ini, bahwa pihaknya membeli bahan baku daun kayu putih dari masyarakat dengan harga Rp 1.500/Kg daun basah atau yang masih hijau tua.
Sebelumnya, kata Kawatung, seharga Rp 1.000/Kg tetapi masih bisa campur dengan ranting-ranting tangkai daun. Namun, jelas dia, karena ranting-ranting itu mengakibatkan kadar air dalam minyak kayu putih tinggi, sehingga saat ini harus murni daun tanpa ranting kecil.
“Karena itu, saat ini kami sudah mengharuskan petani agar setelah pohon dipangkas, maka daunnya diluruh, kemudian masukan ke dalam karung untuk ditimbang (dijual), agar menjaga kualitas minyak kayu putih yang dihasilkan,”tandas Kawatung.
Selain meningkatkan kuantitas produksi daun, ujar Kawatung, terpenting juga memperhatikan kualitas daun, agar kita tetap menghasilkan minyak kayu putih yang berkualitas, sehngga tetap mendapat kepercayaan pasar.

“Sebelumnya kita beli daun yang masih dengan ranting kecilnya maka dalam satu karung ukuran 50 Kg hanya dapat 7 atau 8 Kg dengan harga Ep 1000/Kg. Tetapi sekarang hanya murni daun karena sudah diluruh dari ranting-ranting, maka dalam 1 karung 50 Kg beras, saat ditimbang berat daun basah mencapai 20-30 Kg dengan harga Rp 1.500/Kg,”tandas Kawatung.
Ia mengaku terus mendorong masyarakat agar memperbanyak tanaman pohon pengahsil minyak kayu putih karena prospeknya cukup menjanjikan adanya peningkatan ekonomi keluarga. Setiap empat atau lima bulan, daunnya dipanen dan langsung dijual sehingga dalam satu tahun dua kali panen.
Menurutnya, dalam sekali panen, masyarakat bisa dapat tambahan penghasilan sekitar Rp 3 Juta, Maka dua kali panen setahun, berarti masyarakat mendapat tambahan penghasilan sebesar Rp 6 Juta/tahun.
“Pohion ini tumbuh sembarang, tidak butuh perlakuan khusus seperti cendana. Kalau sudah tumbuh, maka dia akan bertahan hingga menghasilkan daun yang rimbun, tinggal dijaga agar hutannya tidak terbakar karena pohon ini sensitive dengan api karena berminyak,”tegas Kawatung.
Saat ini total seribu lebih hektare. Akan terus dikembangkan sebagai salah satu potensi unggulan Kabupaten Alor. Alat-alat produksi minyak kayu putih juga akan ditingkatkan, dan nantinya pengolahn juga bisa melalui kelompok masyarakat atau Bumdes (Badan Usaha Milik Desa).
Disinggung tentang kontribusi bagi pendapatan daerah, Kawatung mengatakan yang penting usaha masyarakat berjalan dulu, jangan langsung dibebani dengan berbagai pungutan retribusi atau sejenisnya dari pemerintah daerah. Menurutnya, Bupati Alor, Drs.Amon Djobo juga setuju bahwa pengembangan usaha dijalankan dulu, soal pungutan nanti dibicarakan kemudian setelah usaha berhasil dengan baik dan berkelanjutan.
Setelah berhasil, lanjut Kawatung, maka kita bicarakan terkait kontribusi untuk daerah, termasuk soal bagi hasil antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten.
“Saat ini kita belum bisa bicara banyak tentang kontribusi pagi PAD karena untuk operasional produksi di lapangan cukup tinggi sehingga yang diutamakan untuk mendukung pengembangan lahan penanaman untuk menopang dan produksi minyak kayu putih,”tandas Kawatung. (ap/linuskia)