PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 5 TAHUN 2022 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

author
2
30 minutes, 54 seconds Read

BUPATI ALOR
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR
NOMOR 5 TAHUN 2022
TENTANG
PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI ALOR,

Menimbang: a. bahwa salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dilaksanakan melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berlandaskan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk melakukan percepatan dalam pembangunan ekonomi di Daerah diperlukan iklim Penanaman Modal yang kondusif, promotif, kepastian hukum, keadilan, dan efisien untuk mengolah potensi ekonomi kerakyatan termasuk pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi di Daerah;
c. bahwa untuk memberikan dasar dan jaminan kepastian hukum bagi penyelenggaraan Penanaman Modal di Daerah perlu ditetapkan dalam Peraturan Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal;

Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN ALOR
dan
BUPATI ALOR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam Modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Rencana Umum Penanaman Modal Daerah, yang selanjutnya disingkat RUPMD adalah dokumen perencanaan Penanaman Modal Daerah yang disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan rencana umum Penanaman Modal provinsi dan prioritas pengembangan potensi Daerah.
3. Potensi Penanaman Modal adalah ketersediaan sumber daya yang masih belum tergali yang terdapat pada suatu daerah yang mempunyai nilai ekonomi.
4. Peluang Penanaman Modal adalah Potensi Penanaman Modal yang sudah siap untuk ditawarkan kepada calon penanam modal.
5. Promosi Penanaman Modal selanjutnya disebut Promosi adalah segala bentuk komunikasi yang digunakan untuk menginformasikan, dan/atau meyakinkan tentang potensi dan peluang serta iklim Penanaman Modal kepada pemangku kepentingan baik di dalam maupun luar negeri.
6. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro.
7. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil.

8. Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
9. Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah terutama dimana Usaha Besar berinvestasi.
10. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan, badan usaha, kantor perwakilan, dan badan usaha luar negeri yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
11. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya
12. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha.
13. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi Pelaku Usaha.
14. Izin adalah persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
15. Fasilitas Penanaman Modal adalah segala bentuk insentif fiskal dan nonfiskal serta kemudahan pelayanan Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
16. Pemberian Insentif adalah dukungan kebijakan fiskal dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat dan/atau investor untuk meningkatkan investasi di daerah.
17. Pemberian Kemudahan adalah penyediaan fasilitas nonfiskal dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat dan/atau Investor untuk mempermudah setiap kegiatan investasi dan untuk meningkatkan investasi di daerah.
18. Laporan Kegiatan Penanaman Modal yang selanjutnya disingkat LKPM adalah laporan mengenai perkembangan realisasi Penanaman Modal dan permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha yang wajib dibuat dan disampaikan secara berkala
19. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik/Online Single Submission yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
20. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi Penanaman Modal.
21. Badan Koordinasi Penanaman Modal yang selanjutnya disingkat BKPM adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
22. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
23. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah Perangkat Daerah yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Daerah.
24. Daerah adalah Kabupaten Alor.
25. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Alor.
26. Bupati adalah Bupati Alor.

Pasal 2

Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
a. perencanaan;
b. peta potensi penanaman modal;
c. promosi Penanaman Modal;
d. pengelolaan data dan sistem informasi Penanaman Modal terintergrasi;
e. pelayanan perizinan berusaha dan fasilitas Penanaman Modal;
f. pengawasan penyelenggaraan Penanaman Modal;
g. pelindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi dalam pelaksanaan Penanaman Modal; dan
h. partisipasi masyarakat.

BAB II
PERENCANAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3

(1) Bupati melalui DPMPTSP bertanggung jawab dalam melakukan perencanaan di bidang Penanaman Modal.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan kebijakan dasar yang dituangkan dalam RUPMD.
(3) RUPMD disusun dengan berpedoman pada rencana umum Penanaman Modal Nasional, rencana umum Penanaman Modal Provinsi, dan prioritas pengembangan potensi Daerah.
(4) RUPMD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui tahapan:
a. penyusunan;
b. pembahasan; dan
c. penetapan.

Bagian Kedua
Penyusunan

Pasal 4

(1) Kepala DPMPTSP membentuk tim penyusun RUPMD.
(2) Tim penyusun RUPMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal terdiri dari:
a. Bupati selaku Pembina;
b. kepala DPMPTSP selaku ketua tim;
c. sekretaris DPMPTSP selaku sekretaris; dan
d. anggota.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri dari:
a. unsur dari unit kerja pada DPMPTSP; dan
b. unsur Perangkat Daerah terkait.
(4) Jumlah anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan Daerah.
(5) Tim penyusun RUPMD ditepakan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 5

(1) Tim penyusun RUPMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 bertanggung jawab dalam melakukan:
a. pengkajian dan perumusan naskah akademis RUPMD;
b. penyusunan konsep RUPMD;
c. pembahasan konsep RUPMD; dan
d. pengajuan konsep RUPMD hasil pembahasan untuk ditetapkan.
(2) Konsep RUPMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat sistematika :
a. pendahuluan;
b. asas dan tujuan;
c. visi dan misi;
d. arah kebijakan Penanaman Modal, meliputi:
1) perbaikan iklim Penanaman Modal;
2) persebaran Penanaman Modal;
3) fokus pengembangan pangan, infrastruktur, dan energi;
4) Penanaman Modal yang berwawasan lingkungan;
5) pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi;
6) pemberian fasilitas, kemudahan, dan/atau insentif Penanaman Modal; dan
7) promosi Penanaman Modal;
e. peta panduan implementasi RUPMD, meliputi:
1) fase pengembangan Penanaman Modal yang relatif mudah dan cepat menghasilkan;
2) fase percepatan pembangunan infrastruktur dan energi;
3) fase pengembangan industri skala besar; dan
4) fase pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan;
f. pelaksanaan.
(3) Dalam penyusunan konsep RUPMD, tim penyusun RUPMD dapat berkonsultasi dengan BKPM sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pembahasan

Pasal 6

(1) Tim penyusun RUPMD bertanggung jawab melakukan pembahasan terhadap konsep RUPMD yang telah disusun.
(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. rapat koordinasi; dan
b. konsultasi/uji publik,
dengan instansi teknis dan/atau pihak terkait lainnya yang berkepentingan di bidang Penanaman Modal sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan konsep RUPMD.

Bagian Keempat Penetapan

Pasal 7

(1) Tim penyusun RUPMD bertanggung jawab mengajukan konsep RUPMD yang telah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Bupati untuk ditetapkan.
(2) RUPMD ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB III
PETA POTENSI PENANAMAN MODAL

Pasal 8

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam menyusun peta Potensi Penanaman Modal di Daerah.
(2) Penyusunan peta potensi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemetaan peluang Penanaman Modal di Daerah.
(3) Kegiatan pemetaan peluang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. pengumpulan data informasi Potensi Penanaman Modal di Daerah;
b. verifikasi hasil pengumpulan data informasi Potensi Penanaman Modal di Daerah;
c. analisis hasil verifikasi Potensi Penanaman Modal yang telah didapatkan sebelumnya didukung dengan hasil studi yang diperoleh berdasarkan kunjungan lapangan;
d. penyusunan peta Potensi Penanaman Modal Daerah; dan
e. pendokumentasian hasil pemetaan Potensi Penanaman Modal Daerah ke dalam sistem informasi peluang investasi Daerah.
(4) Pendokumentasian hasil pemetaan Potensi Penanaman Modal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PROMOSI PENANAMAN MODAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Promosi Penanaman Modal di Daerah.
(2) Penyelenggaraan Promosi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyediaan sarana Promosi Penanaman Modal;
b. pelaksanaan kegiatan Promosi Penanaman Modal; dan
c. koordinasi untuk penyelenggaraan Promosi Penanaman Modal.

Bagian Kedua
Penyediaan Sarana Promosi Penanaman Modal

Pasal 10

Penyediaan sarana Promosi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dilakukan melalui tahapan:
a. identifikasi cakupan materi sarana Promosi dengan mempertimbangkan:
1. informasi terkait Penanaman Modal;
2. sektor dan wilayah prioritas Promosi; dan
3. pertimbangan strategis lain yang menjadi program Pemerintah Daerah di bidang Penanaman Modal.
b. koordinasi dengan unit dan instansi terkait pengumpulan dan pemutakhiran data/informasi dari cakupan materi sarana Promosi yang telah diidentifikasi, untuk penyusunan materi sarana Promosi;
c. penyusunan materi sarana Promosi;
d. penentuan format sarana Promosi dalam bentuk tercetak dan/atau elektronik berdasarkan hasil penyusunan materi sarana Promosi;
e. pembuatan desain sarana Promosi dalam bentuk media cetak dan elektronik berdasarkan format yang telah ditentukan; dan
f. penyediaan sarana Promosi dan penyusunan laporan evaluasi penyediaan sarana Promosi.

Pasal 11

Materi sarana Promosi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dapat memuat informasi meliputi:
a. prosedur perizinan Penanaman Modal;
b. insentif Penanaman Modal;
c. iklim Penanaman Modal;
d. Peluang Penanaman Modal;
e. biaya melakukan usaha; dan
f. kegiatan Promosi.

Pasal 12

Format sarana Promosi dalam bentuk cetak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d dapat berupa:
a. selebaran;
b. poster;
c. banner, spanduk, dan baliho;
d. buku informasi;
e. kolom dalam surat kabar dan/atau majalah; dan
f. bentuk lain melalui media cetak lainnya.

Pasal 13

Format sarana Promosi dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d dapat berupa:
a. iklan atau siaran melalui media televisi;
b. konten melalui media sosial;konten melalui situs web;
c. kolom dalam surat kabar dan/atau majalah online; dan/atau
d. bentuk lain melalui media elektronik lainnya.

Pasal 14

Ketentuan mengenai penyediaan sarana Promosi Penanaman Modal dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Kegiatan Promosi Penanaman Modal
Pasal 15

(1) Kegiatan Promosi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b meliputi:
a. publikasi informasi melalui sarana Promosi;
b. penyelenggaraan dan/atau partisipasi pada pameran Penanaman Modal;
c. seminar Penanaman Modal, dan/atau pertemuan tatap muka di bidang Penanaman Modal;
d. pendampingan kegiatan Penanam Modal; dan
e. tindak lanjut kegiatan Promosi.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagian Keempat
Koordinasi Promosi Penanaman Modal

Pasal 16

(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyelarasan proses Promosi Penanaman Modal untuk mendorong peningkatan minat investasi di Daerah.
(2) Ketentuan mengenai koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENGELOLAAN DATA DAN SISTEM INFORMASI PENANAMAN MODAL TERINTERGRASI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 17

(1) Setiap orang berhak memperoleh data dan Informasi terkait Penanaman Modal di Daerah.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melihat dan mengetahui informasi di Bidang Penanaman Modal;
b. menghadiri pertemuan publik untuk memperoleh informasi terkait Penanaman Modal di Daerah;mendapatkan salinan informasi terkait Penanaman Modal melalui permohonan sesuai dengan Peraturan Daerah ini; dan/atau
c. menyebarluaskan informasi terkait Penanaman Modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam pengelolaan data dan sistem informasi Penanaman Modal yang terintegrasi dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi.
(2) Data dan sistem informasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. basis data potensi dan peluang Penanaman Modal;
b. data hasil pemetaan peluang Penanaman Modal di Daerah;
c. data kegiatan usaha Penanaman Modal;
d. data layanan Perizinan dan Nonperizinan; dan
e. data realisasi Penanaman Modal.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pengelolaan data dan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat;
b. menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan data dan informasi di Bidang Penanaman Modal yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon Informasi.
c. menyediakan data dan informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan;
d. memberikan alasan yang jelas kepada pemohon data dan Informasi terhadap penolakan pemberian Informasi Yang Dikecualikan;
e. membuat SOP pengelolaan data dan Informasi; dan
f. menyediakan sistem pengelolaan data dan Informasi yang terintegrasi.

Pasal 19

(1) Pengelolaan Data dan Sistem Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan melalui pengembangan sistem teknologi informasi pengolahan data dan informasi Penanaman Modal.
(2) Pengembangan sistem teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara:
a. daring; dan
b. luring.

Bagian Kedua
Pengembangan Sistem Informasi Secara Daring

Pasal 20

(1) DPMPTSP secara terkoordinasi dengan Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika bertanggung jawab untuk menyediakan sistem Informasi.
(2) Sistem Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara Daring melalui:
a. situs web; dan/atau
b. sistem aplikasi.
(3) Sistem Informasi secara Daring dilaksanakan secara terintegrasi dengan:
a. Sistem OSS; dan/atau
b. situs web milik Pemerintah Daerah.

Pasal 21

(1) Bupati membentuk Tim Pengembangan Sistem Informasi dalam rangka pengelolaan Data dan sistem Informasi terkait Perizinan Berusaha dan Penanaman Modal secara Daring di Daerah.
(2) Tim Pengembangan Sistem Informasi paling rendah terdiri dari:
a. pembina, yang dijabat oleh Bupati;
b. ketua, yang dijabat oleh kepala DPMPTSP;
c. sekretaris, yang dijabat oleh sekretaris DPMPTSP; dan
d. anggota.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri dari:
a. unit kerja sekretariat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;
b. Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
1. penelitian dan pengembangan Daerah; dan
2. komunikasi dan informatika;
c. Tenaga ahli sesuai kebutuhan.
(4) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c adalah setiap orang atau badan hukum yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang:
a. penelitian; dan/atau
b. teknologi informasi, yang terdiri dari:

1. perangkat lunak;
2. perangkat keras; dan/atau
3. programer.
(5) Pembentukan Tim Pengembangan Sistem Informasi beserta tugas dan tanggung jawabnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 22

Pengembangan Sistem Informasi dilaksanakan melalui tahapan:
a. perencanaan pengembangan;
b. analisa;
c. desain dan konstruksi sistem Informasi; dan
d. penyajian data.

Bagian Ketiga
Pengembangan Sistem Informasi Secara Luring

Pasal 23

(1) DPMPTSP dan setiap Perangkat Daerah teknis yang berkaitan dengan pelayanan Penamanan Modal di Daerah bertanggung jawab untuk menyediakan Informasi terkait dengan Penanaman Modal.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jenis Informasi yang disediakan secara berkala.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah memuat:
a. profil kelembagaan Perangkat Daerah;
b. Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP Perizinan Berusaha di Daerah;
c. penilaian kinerja DPMPTSP; dan
d. data dan informasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dalam bentuk dokumen tercetak.

BAB VI
PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA DAN FASILITAS
PENANAMAN MODAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 24

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan Perizinan Berusaha dan fasilitas Penanaman Modal di Daerah.
(2) Dalam penyelenggaraan pelayanan Perizinan Berusaha dan fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPMPTSP melakukan pengintegrasian pelayanan terpadu satu pintu antara Perangkat Daerah dan instansi vertikal di Daerah sesuai kewenangannya.

Bagian Kedua
Pelayanan Perizinan Berusaha

Pasal 25

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan Perizinan Berusaha di Daerah.
(2) Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
b. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha
(3) Penyelenggaraan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penerapan manajemen Penyelenggaraan Perizinan Berusaha meliputi:
a. pelaksanaan pelayanan;
b. pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. pengelolaan informasi;
d. penyuluhan kepada masyarakat;
e. pelayanan konsultasi; dan
f. pendampingan hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha di Daerah melalui penerapan manajemen Penyelenggaraan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha.Bagian Ketiga Fasilitas Penanaman Modal

Paragraf 1
Umum

Pasal 26

(1) Pemerintah Daerah memberikan Fasilitas Penanaman Modal kepada masyarakat dan/atau penanam modal di Daerah.

(2) Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal.
(3) Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk mendorong peningkatan Penanaman Modal sesuai dengan kewenangan, kondisi, dan kemampuan Daerah.

Paragraf 2
Kriteria Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal

Pasal 27

(1) Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal diberikan kepada Masyarakat dan/atau penanam modal yang memenuhi kriteria.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat;
b. menyerap tenaga kerja;
c. menggunakan sebagian besar sumber daya lokal;
d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;
e. memberikan kontribusi dalam peningkatan produk domestik regional bruto;
f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
g. pembangunan infrastruktur;
h. melakukan alih teknologi;
i. melakukan industri pionir;
j. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
k. bermitra dengan usaha mikro, kecil, atau koperasi;
l. industri yang menggunakan barang Modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri;
m. melakukan kegiatan usaha sesuai dengan program prioritas nasional dan/atau daerah; dan/atau
n. berorientasi ekspor.

Paragraf 3
Bentuk Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal

Pasal 28

(1) Pemberian Insentif dapat berbentuk:
a. pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah;
b. pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah;
c. pemberian bantuan Modal kepada usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di Daerah;
d. bantuan untuk riset dan pengembangan untuk usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di Daerah;
e. bantuan fasilitas pelatihan vokasi usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di Daerah; dan/atau
f. bunga pinjaman rendah kepada usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di Daerah.
(2) Pemberian Kemudahan dapat berbentuk:
a. penyediaan data dan informasi peluang Penanaman Modal;
b. penyediaan sarana dan prasarana;
c. fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi;
d. pemberian bantuan teknis;
e. penyederhanaan dan percepatan pemberian perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu;
f. kemudahan akses pemasaran hasil produksi;
g. kemudahan investasi langsung konstruksi;
h. kemudahan investasi di kawasan strategis yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berpotensi pada pembangunan daerah;
i. pemberian kenyamanan dan keamanan berinvestasi di daerah;
j. kemudahan proses sertifikasi dan standardisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. kemudahan akses tenaga kerja siap pakai dan terampil;
l. kemudahan akses pasokan bahan baku; dan/atau
m. fasilitasi promosi sesuai dengan kewenangan Daerah.
(3) Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Jenis Usaha atau Kegiatan Penanaman Modal

Pasal 29

(1) Pemerintah Daerah dapat memprioritaskan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal untuk jenis usaha tertentu atau kegiatan tertentu yang menjadi fokus pengembangan dan prioritas kebijakan Daerah.
(2) Jenis usaha tertentu atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi;
b. usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan;
c. usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya;
d. usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu;
e. usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus;
f. usaha yang terbuka dalam rangka Penanaman Modal yang memprioritaskan keunggulan Daerah;
g. usaha yang telah mendapatkan fasilitas Penanaman Modal dari Pemerintah Pusat; dan/atau
h. usaha lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Paragraf 5
Tata Cara Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal

Pasal 30

(1) Masyarakat dan/atau Penanam Modal mengajukan permohonan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal secara tertulis kepada Bupati.
(2) Masyarakat dan/atau Penanam Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penanam Modal baru yang akan membuka usaha mengajukan permohonan yang memuat:
1. profil perusahaan;
2. rencana usaha; dan
3. bentuk insentif dan/atau kemudahan yang dimohonkan.
b. Penanam Modal lama yang akan melakukan perluasan usaha, mengajukan permohonan yang memuat:
1. kinerja perusahaan;
2. perkembangan usaha;
3. lingkup usaha; dan
4. bentuk insentif dan/atau kemudahan yang dimohonkan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi cukup dengan menyampaikan surat permohonan yang memuat kebutuhan insentif dan/atau kemudahan Penanaman Modal.

Pasal 31

(1) Permohonan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) diverifikasi oleh Tim Verifikasi dan Penilaian.
(2) Keanggotaan Tim Verifikasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas Perangkat Daerah terkait dan dikoordinasikan oleh Dinas.
(3) Pembentukan Tim Verifikasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 32

Tim Verifikasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 memiliki tugas:
a. melakukan verifikasi dan penilaian atas pengajuan permohonan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal;
b. melakukan peninjauan lapangan;
c. melakukan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal oleh Masyarakat dan/atau Penanam Modal sesuai kriteria berdasarkan variabel penilaian;
d. menentukan bentuk dan besaran Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal berdasarkan hasil penilaian;
e. menyampaikan rekomendasi penerima insentif dan/atau Kemudahan Penanaman Modal kepada Bupati;
f. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemberian Insentif dan Kemudahan Penanaman Modal di Daerah; dan
g. melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemberian Insentif dan Kemudahan Penanaman Modal paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun kepada Bupati.

Pasal 33

(1) Bupati menetapkan penerima Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal berdasarkan rekomendasi Tim Verifikasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf e.
(2) Penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(3) Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. nama;
b. alamat penerima;
c. bidang usaha atau kegiatan Penanaman Modal;
d. bentuk insentif dan/atau kemudahan;
e. jangka waktu insentif; dan
f. hak dan kewajiban penerima insentif dan/atau kemudahan Penanaman Modal.
(4) Dalam hal permohonan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal ditolak, maka penolakan disertai dengan alasan.

Paragraf 6
Jangka Waktu dan Frekuensi Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal

Pasal 34

(1) Pemerintah Daerah menetapkan jangka waktu dan frekuensi Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jangka waktu dan frekuensi Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

Paragraf 7
Evaluasi dan Pelaporan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal

Pasal 35

(1) DPMPTSP bersama dengan Tim Verifikasi dan Penilaian melakukan evaluasi pelaksanaan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kegiatan Penanaman Modal dinilai tidak memenuhi kriteria dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal dapat ditinjau.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh DPMPTSP untuk dibahas dan ditindaklanjuti dengan Tim Verifikasi dan Penilaian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 36

(1) Masyarakat dan/atau Penanam Modal yang menerima Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal wajib menyampaikan laporan kepada Bupati paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan mengenai penggunaan dan/atau pemanfaatan insentif dan kemudahan Penanaman Modal yang diterima.

Pasal 37

Bupati menyampaikan laporan pelaksanaan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah kepada Gubernur setiap 1 (satu) tahun sekali.

BAB VII
PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 38

(1) DPMPTSP berwenang dalam melakukan Pengawasan terhadap penyelenggaraan Penanaman Modal di Daerah.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. perkembangan realisasi Penanaman Modal;
b. pemberian fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal; dan/atau
c. kewajiban kemitraan.
(3) Pengawasan Penanaman Modal dilaksanakan terhadap setiap kegiatan usaha dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat Risiko dan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
(4) Pengawasan dilaksanakan sejak Pelaku Usaha mendapatkan Perizinan Berusaha bertujuan agar pelaksanaan kegiatan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Pengawasan rutin; dan
b. Pengawasan insidental.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha melakukan lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha dengan tingkat Risiko kegiatan usaha yang berbeda di 1 (satu) titik lokasi yang sama, Pengawasan dilakukan untuk setiap tingkat Risiko.

Bagian Kedua
Pengawasan Rutin

Pasal 39

Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5) huruf a dilakukan melalui:
a. laporan Pelaku Usaha; dan
b. inspeksi lapangan.

Pasal 40

(1) Pengawasan rutin melalui Laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a dilakukan atas laporan yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada DPMPTSP yang memuat perkembangan kegiatan usaha.
(2) Pemantauan terhadap Laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud ayat dilakukan terhadap LKPM yang mencakup:
a. realisasi Penanaman Modal;
b. realisasi tenaga kerja;
c. realisasi produksi;
d. kewajiban kemitraan; dan
e. kewajiban lainnya terkait pelaksanaan Penanaman Modal yang disampaikan oleh Pelaku Usaha orang perseorangan, dan badan usaha;

Pasal 41

(1) Pengawasan rutin melalui Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b dilakukan untuk memeriksa kesesuaian data dan informasi yang disampaikan pada laporan berkala dengan pelaksanaan fisik kegiatan usaha melalui:
a. pembinaan dalam bentuk pendampingan dan penyuluhan meliputi fasilitasi penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh Pelaku Usaha, pemberian penjelasan, konsultasi, dan/atau bimbingan teknis mengenai ketentuan pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan/atau
b. pemeriksaan administratif dan/atau fisik meliputi kegiatan pengecekan lokasi usaha, realisasi nilai Penanaman Modal, tenaga kerja, mesin/peralatan, bangunan/gedung, kewajiban terkait fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal, kewajiban kemitraan, dan/atau kewajiban lainnya terkait pelaksanaan Penanaman Modal.
(2) Dalam hal inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan dengan kunjungan fisik, inspeksi lapangan dilakukan secara virtual.
(3) Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPMPTSP secara terkoordinasi dan dapat didampingi oleh kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(4) Surat tugas dan BAP hasil Pengawasan Rutin diinput ke Sistem OSS setelah pelaksanaan inspeksi lapangan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.Bagian Ketiga Pengawasan Insidental

Pasal 42

(1) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5) huruf b dapat dilakukan karena adanya keadaan tertentu, yaitu:
a. adanya pengaduan masyarakat;
b. adanya pengaduan dan/atau kebutuhan dari Pelaku Usaha;
c. adanya indikasi Pelaku Usaha melakukan kegiatan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
d. kebutuhan yang sangat mendesak berupa terjadinya pencemaran lingkungan dan/atau halhal lain yang dapat membahayakan keselamatan masyarakat dan/atau mengganggu perekonomian nasional maupun perekonomian daerah.
(2) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sewaktu-waktu dan dapat dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Pelaku Usaha.
(3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan inspeksi lapangan untuk memeriksa kesesuaian data dan informasi dengan pelaksanaan kegiatan usaha, melalui:
a. pembinaan dalam bentuk pendampingan dan penyuluhan meliputi kegiatan fasilitasi penyelesaian permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha, pemberian penjelasan dan/atau konsultasi; dan/atau
b. pemeriksaan administratif dan fisik meliputi kegiatan pengecekan lokasi usaha, realisasi nilai Penanaman Modal, tenaga kerja, mesin/peralatan, bangunan/gedung, kewajiban terkait fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal, kewajiban kemitraan, dan/atau kewajiban lainnya terkait pelaksanaan Penanaman Modal.
(4) Dalam hal inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak dapat dilakukan dengan kunjungan fisik, Pengawasan insidental dapat dilakukan secara virtual.
(5) Inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh DPMPTSP secara terkoordinasi dan dapat didampingi oleh kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah terkait sesuai kewenangannya.
(6) Surat tugas dan BAP hasil Pengawasan insidental diinput ke Sistem OSS setelah pelaksanaan inspeksi lapangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan Penanaman Modal dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
PELINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN KOPERASI DALAM PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 44

(1) Pemerintah Daerah melalui DPMPTSP bertanggung jawab memberikan pelindungan dan pemberdayaan berupa pembinaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi.
(2) Pelindungan dan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. program kemitraan;
b. pengembangan sumber daya manusia;
c. peningkatan daya saing;
d. pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar;
e. akses pembiayaan; dan
f. penyebarluasan infomasi.

Bagian Kedua
Program Kemitraan

Pasal 45

(1) DPMPTSP bertanggung jawab memfasilitasi pelaksanaan program kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a antara pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi dalam rangka Penanaman Modal di Daerah dengan usaha menengah dan usaha besar.
(2) Dalam memfasilitasi program kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah memiliki peran berupa:
a. penyediaan data dan informasi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi yang siap bermitra;
b. pengembangan proyek percontohan kemitraan;
c. memfasilitasi dukungan kebijakan; dan
d. melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan, pengawasan terhadap pelaksanaan kemitraan.
(3) Kemitraan antara koperasi, usaha mikro dan usaha kecil dengan usaha menengah dan usaha besar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip kemitraan dan menjunjung etika bisnis yang sehat.
(4) Prinsip kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. saling memerlukan;
b. saling mempercayai;
c. saling memperkuat; dan
d. saling menguntungkan.
(5) Dalam melaksanakan kemitraan, para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara.

Pasal 46

Program kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 bertujuan untuk:
a. mewujudkan pemerataan kesempatan dan kontribusi koperasi, usaha mikro dan usaha kecil di daerah dalam peningkatan perekonomian di daerah;
b. meningkatkan kapasitas dan kompetensi koperasi, usaha mikro dan usaha kecil di daerah untuk berkolaborasi dengan Usaha Besar baik dari dalam maupun luar negeri;
c. mendorong bertumbuhnya koperasi, usaha mikro dan usaha kecil di daerah yang masuk dalam rantai pasok bagi penguatan nilai tambah dan basis produksi di dalam negeri; dan
d. menjaga kepastian dan keberlangsungan usaha yang saling menguntungkan antara pelaku Usaha Besar dengan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi di daerah.

Pasal 47

(1) Program kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilaksanakan melalui pola:
a. inti-plasma;
b. subkontrak;
c. waralaba;
d. perdagangan umum;
e. distribusi dan keagenan;
f. rantai pasok; dan
g. bentuk kemitraan lain.
(2) Bentuk kemitraan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, berupa:
a. bagi hasil;
b. kerja sama operasional;
c. usaha patungan (joint venture); dan
d. penyumberluaran (outsourcing).
(3) Setiap bentuk kemitraan yang dilakukan oleh pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi dituangkan dalam perjanjian kemitraan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan mengenai implementasi program kemitraan melalui pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pasal 48

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam melaksanakan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b di bidang Penanaman Modal.
(2) Pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:
a. bimbingan teknis;
b. pendidikan dan pelatihan; dan/atau
c. workshop/lokakarya/seminar.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan melalui kerja sama.
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan:
a. pemerintah;
b. pemerintah provinsi;
c. perguruan tinggi; dan/atau
d. asosiasi/organisasi.
(5) Ketentuan mengenai tata cara kerja sama Daerah dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Peningkatan Daya Saing

Pasal 49

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam mendorong peningkatan daya saing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dalam Penanaman Modal di Daerah.
(2) Peningkatan daya saing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. peningkatan kualitas pemetaan potensi penanaman modal di Daerah;
b. peningkatan kualitas perencanaan pengembangan penanaman modal yang difokuskan pada sektor prioritas;
c. peningkatan kualitas iklim penanaman modal;
d. peningkatan kualitas kerja sama penanaman modal;
e. peningkatan efektivitas promosi penanaman modal;
f. peningkatkan kualitas layanan penanaman modal; dan
g. peningkatan kualitas Pengendalian pelaksanaan penanaman modal.

Bagian Keempat
Pemberian Dorongan Inovasi dan Perluasan Pasar

Pasal 50

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf d bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi dalam rangka peningkatan kualitas layanan Penanaman Modal di Daerah.
(2) Dorongan inovasi dan perluasan pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. fasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan Penanaman Modal bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi;
b. peningkatan peran Penanam Modal khususnya pelaku Usaha Mikro,
Kecil, dan Koperasi dalam rantai industri global; dan
c. pembukaan akses pasar yang lebih luas bagi Penanam Modal, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi melalui peningkatan kualitas produk dan strategi pemasaran;

Bagian Kelima
Akses Pembiayaan

Pasal 51

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam melakukan peningkatan akses pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf e pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi dalam rangka peningkatan layanan Penanaman Modal di Daerah.

(2) Peningkatan akses pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. fasilitasi sumber pembiayaan dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank dengan proses yang mudah dan suku bunga terjangkau; dan
b. memfasilitasi sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Penyebarluasan Informasi

Pasal 52

(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam melakukan penyebarluasan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf f di bidang Penanaman Modal bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi.
(2) Penyebaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. diseminasi; dan/atau
b. sosialisasi.
(3) Penyebarluasan dapat dilaksanakan melalui media sosial dan/atau media elektronik.

BAB IX
PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 53

(1) DPMPTSP bertanggung jawab melakukan fasilitasi kegiatan guna menunjang terwujudnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Penanaman Modal di Daerah.
(2) Masyarakat berhak memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Penanaman Modal di Daerah.
(3) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memberikan pendapat dan/atau masukan dalam tahapan perencanaan atau penyusunan kebijakan penyelenggaraan Penanaman Modal;
b. melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk mengadakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan Penanaman Modal;
c. ikut melakukan Pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Penanaman Modal; dan
d. menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi penanam modal.

BAB X
PENDANAAN

Pasal 54

Pendanaan penyelenggaraan Penanaman Modal dapat bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja Daerah; dan
b. sumber pendapatan lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 8 Tahun 2011 tentang Penanaman Modal (Lembaran Daerah Kabupaten Alor Tahun 2011 Nomor 56, Lembaran Daerah Kabupaten Alor Nomor 489), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 56

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Daerah ini.

Pasal 57

Peraturan Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Alor.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TAHUN 2022 NOMOR 05

NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR : NOREG 05/2022

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR
NOMOR 5 TAHUN 2022
TENTANG
PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODA

I. UMUM

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah untuk dapat mendorong peran serta masyarakat dan sektor swasta dalam pembangunan daerah, melalui pemberian insentif dan/atau kemudahan dalam melakukan penanaman modal di daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peran penting penanaman modal di Daerah adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap tenaga kerja, memberdayakan sumber daya lokal, meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan produk domestik regional bruto serta mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, Dan Koperasi.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Penanaman Modal di Kabupaten Alor, maka Pemerintah Daerah mengambil kebijakan untuk membuat pengaturan dalam Peraturan Daerah. Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal ini mengatur ruang lingkup penyelenggaraan penanaman modal di Daerah yang meliputi pengaturan mengenai perencanaan, peta potensi penanaman modal, promosi Penanaman Modal, pengelolaan data dan sistem informasi Penanaman Modal terintergrasi, pelayanan perizinan berusaha dan fasilitas Penanaman Modal, pengawasan penyelenggaraan Penanaman Modal, pelindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil Dan Koperasi dalam pelaksanaan Penanaman Modal, dan partisipasi masyarakat.
Diharapkan dengan adanya Peraturan Daerah ini maka Kabupaten Alora dapat menjadi salah satu daerah tujuan penanaman modal yang memiliki daya saing dan iklim usaha yang lebih kondusif serta dapat memberikan kemudahan pelayanan Penanaman Modal khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil Dan Koperasi di daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas

Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas

Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah antara Iain berupa penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak dan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan bangunan, pemberian pengurangan, keringanan, atau pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak daerah dan/atau sanksinya, pemberian pengurangan, keringanan, atau
Pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan pembayaran bertahap pajak Daerah.
Huruf b
Pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah antara lain berupa retribusi izin mendirikan bangunan rumah umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyediaan sarana dan prasarana” adalah bentuk kemudahan memperoleh sarana dan prasarana yang menunjang, antara lain prasarana umum, penyediaan fasilitas air minum dan sanitasi, pemadam kebakaran, pelayanan kesehatan, pengelolaan persampahan, dan penyediaan infrastruktur industri dan penunjang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi” antara lain bentuk kemudahan dalam memproses kepemilikan lahan, penyediaan data dan informasi terkait lahan dan lokasi, dan mediasi penyelesaian sengketa.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Penyederhanaan dan percepatan pemberian perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu dilaksanakan secara bertahap menggunakan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “lokasi tertentu” antara lain usaha yang berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, dan/atau berada di kawasan strategis tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perizinan khusus” antara lain usaha yang memerlukan perizinan dari kementerian/lembaga tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
Pasal 34
Cukup Jelas

Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Cukup Jelas
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Cukup Jelas
Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 49
Cukup Jelas
Pasal 50
Cukup Jelas
Pasal 51
Cukup Jelas
Pasal 52
Cukup Jelas
Pasal 53
Cukup Jelas
Pasal 54
Cukup Jelas
Pasal 55
Cukup Jelas
Pasal 56
Cukup Jelas
Pasal 57
Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 607

Similar Posts

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *