BUPATI ALOR
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR
NOMOR 4 TAHUN 2022
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI ALOR,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6618);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN ALOR
dan
BUPATI ALOR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan atau kegiatannya.
2. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
3. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
4. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.
5. Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya.
6. Daerah adalah Kabupaten Alor.
7. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
8. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
9. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah Perangkat Daerah pemerintah Daerah yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Daerah.
10. Maklumat Pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan.
11. Standar Pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
12. Standar Operasional Prosedur selanjutnya disingkat SOP adalah serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses Penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa dilakukan.
13. Daring adalah serangkaian kegiatan dalam jaringan yang terhubung melalui jejaring komputer, internet, dan sebagainya.
14. Luring adalah serangkaian kegiatan di luar jaringan atau terputus dari jejaring computer.
15. Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (enam puluh) tahun keatas.
16. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lamayang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
17. Pengaduan adalah penyampaian keluhan yang disampaikan pengadu kepada pengelola pengaduan pelayanan publik atas pelayanan pelaksana yang tidak sesuai dengan Standar Pelayanan dan SOP atau pengabaian kewajiban dan/atau pelanggaran larangan oleh Penyelenggara.
18. Mal Pelayanan Publik yang selanjutnya disingkat MPP adalah pengintegrasian Pelayanan Publik yang diberikan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, serta swasta secara terpadu pada 1 (satu) tempat sebagai upaya meningkatkan kecepatan, kemudahan, jangkauan, kenyamanan, dan keamanan pelayanan.
19. Layanan Pengaduan adalah kegiatan penanganan pengaduan sesuai dengan mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan.
20. Tim Pengembangan Sistem Informasi adalah tim yang dibentuk dalam rangka penyusunan dan penyediaan basis data di bidang Perizinan Berusaha melalui sistem informasi.
21. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha.
22. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
23. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.
24. Informasi Yang Dikecualikan adalah Informasi yang tidak dapat diakses oleh Pemohon Informasi Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.
25. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, yang selanjutnya disingkat PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/ atau pelayanan Informasi di bidang publik.
26. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha.
27. Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
28. Bupati adalah Bupati Alor.
29. Provinsi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
a. jenis perizinan;
b. persyaratan perizinan;
c. pelaksanaan pelayanan;
d. pengelolaan pengaduan masyarakat;
e. pengelolaan informasi;
f. penyuluhan kepada masyarakat;
g. pelayanan konsultasi;
h. pendampingan hukum;
i. pemantauan dan evaluasi;
j. pembinaan dan Pengawasan;
k. pelaporan;
l. partisipasi masyarkat; dan
m. pendanaan.
BAB II
JENIS PERIZINAN
Pasal 3
(1) Jenis Perizinan Berusaha meliputi:
a. NIB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah;
b. NIB dan Sertifikat Standar untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah;
c. NIB dan Izin untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi;
d. NIB, Izin dan Sertifikat Standar, untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi yang mensyaratkan verifikasi standar pelaksanaan kegiatan usaha; dan
e. Perizinan Berusaha lainnya penunjang kegiatan usaha.
(2) Jenis Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan pada sektor dan sub sektor Perizinan Berusaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
PERSYARATAN PERIZINAN BERUSAHA
Pasal 4
(1) Setiap Pelaku Usaha yang akan memulai dan melakukan kegiatan usaha di Daerah wajib memenuhi:
a. persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau
b. Perizinan Berusaha berbasis Risiko.
(2) Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b. persetujuan lingkungan; dan
c. persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan Perizinan Berusaha berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Setiap ASN dilarang menetapkan syarat dasar Perizinan Berusaha selain yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) ASN yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan- undangan
BAB IV
PELAKSANAAN PELAYANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) Bupati berwenang melaksanakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Kepala DPMPTSP.
(3) Pelaksanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha dilakukan dengan prinsip:
a. kejelasan dan kepastian;
b. kemudahan akses;
c. persamaan perlakukan/nondiskriminatif;
d. professional;
e. keterbukaan; dan
f. perlakuan khusus bagi kelompok rentan, Lanjut Usia dan Penyandang Disabilitas.
(4) Ketentuan mengenai pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 7
(1) Setiap orang dilarang:
a. menghambat dan/atau menghalang-halangi proses pelayanan Perizinan Berusaha;
b. menjadi calo di dalam pengurusan Perizinan Berusaha; dan/atau
c. menggunakan jasa calo di dalam pengurusan Perizinan Berusaha.
(2) Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penundaan pemberian Perizinan Berusaha; atau
d. pembatalan pemberian Perizinan Berusaha.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga termasuk pengenaan sanksi sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam meningkatkan pelayanan Perizinan Berusaha dan mewujudkan inovasi pelayanan Perizinan Berusaha yang terukur, sederhana, dan cepat.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyusunan, penetapan dan penerapan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP;
b. penyediaan layanan khusus;
c. pengintegrasian layanan;
d. penyediaan pelayanan berbantuan;
e. penyediaan pelayanan bergerak; dan/atau
f. pembentukan MPP.
Bagian Kedua
Penyusunan, Penetapan dan Penerapan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan Dan SOP
Pasal 9
(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam melaksanakan koordinasi penyusunan, penetapan dan penerapan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP penyelenggaraan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a.
(2) Penyusunan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP dilaksanakan untuk:
a. memberikan pedoman dan ukuran yang dibakukan bagi pemberi layanan penerima layanan Perizinan Berusaha;
b. menjamin adanya kepastian prosedur dan waktu bagi penerima layanan Perizinan Berusaha; dan
c. menjadi salah satu indikator dalam melaksanakan evaluasi kinerja pelayanan Perizinan Berusaha di Daerah.
(3) Penyusunan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP tentang:
a. layanan berbasis tingkat Risiko:
1. rendah;
2. menengah; dan
3. tinggi,
pada sektor dan subsektor Perizinan Berusaha sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan;
b. layanan khusus;
c. layanan terintegrasi;
d. layanan berbantuan;
e. layanan bergerak;
f. pengelolaan Pengaduan masyarakat;
g. pengelolaan Informasi;
h. penyuluhan kepada masyarakat;
i. layanan konsultasi; dan
j. pendampingan hukum.
(4) Penyusunan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh DPMPTSP, Perangkat Daerah teknis yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha, kecamatan, dan pemerintah desa/kelurahan.
Pasal 10
(1) Kepala DPMPTSP dapat membentuk tim untuk menyusun Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan kepala DPMPTSP.
(3) Tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. ASN di DPMPTSP;
b. ASN di Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
1. pekerjaan umum dan penataan ruang;
2. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
3. tenaga kerja;
4. lingkungan hidup;perhubungan;
5. komunikasi dan informatika;
6. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
7. kelautan dan perikanan;
8. pariwisata;
9. pertanian;
10. energi dan sumber daya mineral;
11. perdagangan; dan/atau
12. perindustrian;
c. unsur perangkat kecamatan; dan
d. unsur perangkat desa/kelurahan.
(4) Keanggotaan tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan bagi terlaksananya penyusunan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP Pelayanan Perizinan Berusaha
(5) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas:
a. melakukan identifikasi komponen Standar Pelayanan dan jenis layanan pelayanan Perizinan Berusaha;
b. menyusun rancangan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha;
c. melaksanakan sosialisasi dan/atau penyebarluasan rancangan atau draf Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha yang telah ditetapkan; dan
d. melakukan evaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun sejak Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha tersebut ditetapkan.
(6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d dilaporkan kepada kepala DPMPTSP.
(7) Kepala DPMPTSP bertanggung jawab untuk melakukan mengambil kebijakan sesuai dengan kewenangannya dalam rangka perbaikan dan/atau peningkatan layanan atau inovasi pelayanan Perizinan Berusaha di Daerah atas dasar evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d.
Pasal 11
(1) Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) DPMPTSP secara terkoordinasi dengan Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika bertanggungjawab menyebarluaskan rancangan dan keputusan penetapan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha.
(3) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. media cetak dan media elektronik;
b. Daring; dan
c. Luring.
(4) Penyebarluasan secara Daring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan di situs web milik Pemerintah Daerah.
(5) Penyebarluasan secara Luring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan di:
a. ruang pelayanan Perizinan Berusaha;
b. kantor kecamatan;
c. kantor desa/kelurahan; dan/atau
d. fasilitas umum lainnya.
Pasal 12
(1) Setiap ASN yang bertugas dan/atau bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha wajib menerapkan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP yang telah ditetapkan.
(2) Setiap ASN yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Setiap tahapan penyusunan, penetapan dan penerapan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha harus melibatkan partisipasi dari unsur masyarakat.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. ikut serta mulai dari tahap rancangan Standar Pelayanan;
b. ikut serta dalam penyebarluasan informasi terhadap rancangan Standar Pelayanan; dan/atau
c. melaksanakan Pengawasan terhadap penerapan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, penetapan dan penerapan Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP Pelayanan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penyediaan Layanan Khusus
Pasal 15
(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam penyediaan layanan khusus bagi kelompok rentan, Lanjut Usia dan Penyandang Disabilitas.
(2) Penyediaan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk:
a. kemudahan aksesibilitas;
b. memberikan pelayanan prioritas; dan
c. mewujudkan pelayanan yang ramah.
(3) Penyediaan layanan khusus dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah.
Pasal 16
(1) Kemudahan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan cara menjamin adanya ketersediaan:
a. akses atas informasi dalam bentuk audio dan visual di ruang pelayanan;
b. jalur menuju ruang pelayanan Perizinan Berusaha yang dilengkapi ubin pengarah (guiding block) dan ubin peringatan (warning block);
c. bidang miring (ramp) menuju ruang pelayanan Perizinan Berusaha dengan pegangan tangan (handrail) pada sisi kiri dan sisi kanan;
d. pegangan tangan (handrail) di toilet, tangga, lokasi yang landau atau area yang rawan bahaya;tempat parkir khusus untuk Penyandang Disabilitas yang letaknya paling dekat dengan pintu ruang masuk ruangan; dan
e. alat bantu, alat peraga dan/atau kursi roda dengan jumlah paling rendah 1 (satu) buah.
(2) Akses atas informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. fasilitas huruf berjalan (teletext/running text) pada ruang pelayanan Perizinan Berusaha;
b. fasilitas televisi text pada ruang tunggu pelayanan Perizinan Berusaha; dan/atau
c. pengeras suara di ruang pelayanan Perizinan Berusaha.
(3) Selain kemudahan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPMPTSP dapat menyediakan huruf braille pada kertas atau formulir isian dalam pengajuan Perizinan Berusaha dan/atau pegangan tangga.
Pasal 17
(1) Pelayanan prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dilaksanakan dengan cara:
a. penerapan bebas antrian bagi kelompok rentan, Lanjut Usia dan/atau Penyandang Disabilitas;
b. penyediaan loket khusus; dan/atau
c. pendampingan.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh petugas khusus yang ditunjuk oleh kepala DPMPTSP.
(3) Petugas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
a. mendapatkan persetujuan dari kelompok rentan, Lanjut Usia dan/atau Penyandang Disabilitas sebelum melakukan pendampingan;
b. memahami kebutuhan dan hambatan kelompok rentan, Lanjut Usia dan/atau Penyandang Disabilitas dalam melakukan proses Perizinan Berusaha di Daerah; dan
c. memiliki kemampuan bergaul dan berinteraksi secara baik dengan kelompok rentan, Lanjut Usia dan/atau Penyandang Disabilitas.
Pasal 18
Pelayanan yang ramah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c dilaksanakan dengan cara menyediakan:
a. ruang bermain anak;
b. ruang laktasi bagi ibu menyusui;
c. kursi khusus di ruang tunggu bagi ibu hamil dan Penyandang Disabilitas; dan/atau
d. ruang khusus merokok.
Bagian Keempat
Pengintegrasian Layanan
Paragraf 1 Umum
Pasal 19
(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam pengintegrasian layanan Perizinan Berusaha di Daerah.
(2) Pengintegrasian layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. pendekatan pelayanan bagi masyarakat; dan
b. mewujudkan penyelenggaraan Perizinan Berusaha yang cepat dan mudah.
Pasal 20
Pengintegrasian layanan Perizinan Berusaha meliputi:
a. penyediaan perangkat keras dan jaringan komunikasi; dan
b. sinkronisasi pelayanan Perizinan Berusaha.
Paragraf 2
Penyediaan Perangkat Keras dan Jaringan Komunikasi
Pasal 21
(1) Penyediaan perangkat keras dan jaringan komunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a diutamakan bagi wilayah di Daerah yang belum memiliki aksesibilitas memadai.
(2) Bupati menetapkan wilayah di Daerah yang belum memiliki aksesibilitas yang memadai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Bupati.
Pasal 22
(1) DPMPTSP secara terkoordinasi dengan Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika bertanggung jawab dalam memfasilitasi penyediaan perangkat keras dan jaringan komunikasi.
(2) Penyediaan perangkat keras dan jaringan komunikasi dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan pengintegrasian layanan Perizinan Berusaha di kecamatan atau desa/kelurahan.
Paragraf 3
Sinkronisasi Pelayanan Perizinan Berusaha
Pasal 23
Sinkronisasi pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b dilaksanakan:
a. antara DPMPTSP dengan Pemerintah kecamatan dan pemerintah desa/kelurahan; dan
b. antara DPMPTSP dengan Perangkat Daerah teknis lainnya yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha.
Pasal 24
Sinkronisasi pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat huruf b dilaksanakan secara Luring dan Daring.
Pasal 25
(1) Sinkronisasi antara DPMPTSP dengan kecamatan dan pemerintah desa/kelurahan dilaksanakan untuk pendekatan pelayanan Perizinan Berusaha yang diselenggarakan oleh DPMPTSP kepada masyarakat di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan.Pemerintah kecamatan berperan dalam memfasilitasi pelayanan Perizinan Berusaha dengan cara:
a. menyediakan dan memberikan Informasi atau konsultasi mengenai persyaratan dan tata cara pelaksanaan Perizinan Berusaha;
b. melakukan koordinasi dengan unsur kecamatan dan/atau DPMPTSP dalam rangka penyelenggaraan Perizinan Berusaha; dan
c. memfasilitasi pengurusan Perizinan Berusaha di tingkat desa/kelurahan dan/atau DPMPTSP.
(2) Fasilitasi pelayanan Perizinan Berusaha di kecamatan berlaku secara mutatis mutandis untuk fasilitasi pelayanan Perizinan Berusaha di desa/kelurahan.
Pasal 26
(1) Sinkronisasi antara DPMPTSP dengan Perangkat Daerah teknis lainnya yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha dilaksanakan untuk pengurusan persyaratan teknis yang diatur di dalam peraturan perundang- undangan kepada masyarakat.
(2) Perangkat Daerah teknis lainnya yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha berperan dalam memfasilitasi pelayanan Perizinan Berusaha dengan cara:
a. menyediakan dan memberikan Informasi atau konsultasi mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha;
b. memfasilitasi verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha dan penerbitan sertifikat standar sesuai sektor dan sub sektor kegiatan usaha; dan
c. melakukan koordinasi dengan DPMPTSP dalam rangka penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
Bagian Kelima
Penyediaan Layanan Berbantuan
Pasal 27
(1) Pelayanan berbantuan dilakukan dalam hal pelayanan Sistem OSS:
a. belum tersedia; atau
b. terjadi gangguan teknis.
(2) Ketentuan mengenai pelayanan berbantuan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Penyediaan Layanan Bergerak
Pasal 28
(1) Bupati berwenang menyediakan pelayanan bergerak atau sebutan lainnya di Daerah.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPMPTSP.
(3) Pelayanan bergerak atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendekatkan keterjangkauan pelayanan kepada Pelaku Usaha dengan menggunakan sarana transportasi atau sarana lainnya.
(4) Penyediaan sarana dan prasarana dalam rangka pelaksanaan pelayanan bergerak atau sebutan lainnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah.
Pasal 29
(1) Penyelenggaraan Perizinan Berusaha yang dilaksanakan melalui pelayanan bergerak atau sebutan lainnya dilakukan oleh tim pelayanan bergerak.
(2) Tim pelayanan bergerak atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Bupati selaku penanggung jawab;
b. Sekretaris Daerah selaku pengarah;
c. kepala DPMPTSP selaku ketua; dan
d. anggota, yang terdiri dari:
1. ASN di DPMPTSP; dan
2. ASN di Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
a) pekerjaan umum dan penataan ruang;
b) ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
c) tenaga kerja;
d) lingkungan hidup;
e) perhubungan;
f) komunikasi dan informatika;
g) koperasi, usaha kecil, dan menengah;
h) kelautan dan perikanan;
i) pariwisata;
j) pertanian;
k) energi dan sumber daya mineral;
l) perdagangan; dan/atau
m) perindustrian.
(3) Pembentukan dan pembagian tugas serta tangggung jawab dari tim pelayanan bergerak atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala DPMPTSP atas nama Bupati.
Pasal 30
(1) Pelayanan bergerak atau sebutan lainnya dilakukan dengan fasilitas mobil keliling.
(2) Pelayanan bergerak atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan di lokasi:
a. pasar;
b. kecamatan;
c. desa/kelurahan; atau
d. tempat lain berdasarkan kebutuhan.
Pasal 31
(1) Jenis layanan pada pelayanan bergerak atau sebutan lainnya meliputi:
a. sosialisasi;
b. promosi;
c. konsultasi; dan
d. fasilitasi pengurusan,
di bidang Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelayanan pelayanan bergerak atau sebutan lainnya diatur dalam Peraturan Bupati.
Bagian Ketujuh
Pembentukan MPP
Pasal 32
(1) Bupati berwenang untuk membentuk MPP di Daerah.
(2) Pembentukan MPP dilakukan melalui usulan penyelenggaraan MPP oleh Bupati kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.
(3) DPMPTSP bertanggung jawab dalam memfasilitasi usulan penyelenggaraan MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pembentukan MPP ditetapkan dengan Peraturan Bupati setelah mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.
Pasal 33
(1) Bupati dapat membentuk tim untuk menyusun usulan penyelenggaraan MPP.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah terdiri dari:
a. pembina, yang dijabat oleh Bupati;
b. ketua, yang dijabat oleh kepala DPMPTSP;
c. sekretaris, yang dijabat oleh sekretaris DPMPTSP; dan
d. anggota.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri dari:
a. unit kerja sekretariat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;
b. organisasi masyarakat di bidang perdagangan;
c. Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
1. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
2. penelitian dan pengembangan Daerah;
3. pekerjaan umum dan penataan ruang;
4. pemberdayaan masyarakat dan desa;
5. lingkungan hidup;
6. komunikasi dan informatika;
7. tenaga kerja;
8. perhubungan; dan
9. koperasi, usaha kecil, dan menengah; dan/atau
d. tenaga ahli sesuai kebutuhan.
(4) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d terdiri dari orang atau badan hukum yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang penelitian.
(5) Pembentukan tim beserta tugas dan tanggung jawabnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 34
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan MPP di Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
Pengelolaan Pengaduan masyarakat dilakukan secara cepat, tepat, transparan, adil, tidak diskriminatif, dan tidak dipungut biaya.
Pasal 36
(1) DPMPTSP dan setiap Perangkat Daerah teknis terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha bertanggung jawab dalam menyediakan Layanan Pengaduan dalam rangka pengelolaan Pengaduan masyarakat.
(2) Layanan Pengaduan dilaksanakan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengawasi dan menilai kualitas layanan Perizinan Berusaha di Daerah.
(3) Layanan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menyediakan:
a. kotak Pengaduan;
b. teknologi informasi dan komunikasi, yang meliputi:
1. nomor kontak Pengaduan melalui telepon dan/atau layanan pesan singkat; dan
2. secara Daring;
c. petugas penerima Pengaduan.
(4) Layanan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kepentingan dan kebutuhan Penyandang Disabilitas.
Pasal 37
(1) Bupati membentuk tim Layanan Pengaduan dalam rangka melaksanakan pengelolaan Pengaduan masyarakat.
(2) Tim Layanan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Bupati selaku pembina;
b. Sekretaris Daerah selaku pengarah;
c. kepala DPMPTSP selaku ketua tim; dan
d. anggota, yang terdiri dari:
1. ASN di DPMPTSP; dan
2. ASN di Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
a) pekerjaan umum dan penataan ruang;
b) ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
c) tenaga kerja;
d) lingkungan hidup;
e) perhubungan;
f) komunikasi dan informatika;
g) koperasi, usaha kecil, dan menengah;
h) kelautan dan perikanan;
i) pariwisata;
j) pertanian;
k) energi dan sumber daya mineral;
l) perdagangan; dan/atau
m) perindustrian;
f. perangkat kecamatan; dan
(3) perangkat desa/kelurahan.Pembentukan dan pembagian tugas serta tangggung jawab dari tim Layanan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 38
Tim Layanan Pengaduan bertugas:
a. menerimaan dan memberikan tanda terima Pengaduan;
b. memeriksaan kelengkapan dokumen Pengaduan;
c. mengklasifikasi dan memprioritaskan penyelesaian;
d. menelaah dan menanggapi Pengaduan;
e. penatausahaan;
f. pelaporan; dan
g. pemantauan dan evaluasi.
Bagian Kedua
Penerimaan dan Pemberian Tanda Terima
Pasal 39
(1) Pengaduan masyarakat dilaksanakan secara:
a. Daring;
b. tertulis; dan
c. lisan.
(2) Pengaduan secara Daring dilaksanakan melalui pengisian formulir pengaduan pada situs web.
(3) Pengaduan tertulis diajukan dengan mengisi formulir Pengaduan atau mengirimkan surat Pengaduan.
(4) Pengaduan lisan diajukan dengan mengadukan langsung di kantor DPMPTSP.
(5) Dalam hal pengadu memiliki kebutuhan khusus, petugas bertanggung jawab untuk membantu dan mendampingi pengisian formulir Pengaduan.
Pasal 40
(1) Formulir Pengaduan atau surat Pengaduan paling rendah memuat:
a. identitas pengadu;
b. uraian mengenai alasan pengajuan Pengaduan; dan
c. hal yang dimohonkan.
(2) Pengadu harus menyertakan dokumen kelengkapan Pengaduan yaitu:
a. fotokopi kartu tanda penduduk atau identitas lain yang sah;
b. alamat lengkap pengadu; dan
c. data atau bukti dukung terkait dengan Pengaduan yang diadukan.
(3) Bentuk formulir Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 41
(1) Petugas penerima Pengaduan menerima dan memberikan tanda terima pada setiap Pengaduan yang disampaikan oleh Pengadu.
(2) Setiap ASN dilarang melakukan pungutan pada saat menerima dan memberikan Layanan Pengaduan kepada masyarakat.
(3) Setiap ASN yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan; dan
b. teguran tertulis.
(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), juga termasuk pengenaan sanksi sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Kelengkapan Dokumen
Pasal 42
(1) Petugas penerima Pengaduan memeriksa formulir Pengaduan atau surat Pengaduan dan dokumen kelengkapan Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, maka petugas penerima Pengaduan mencatat Pengaduan Masyarakat ke dalam buku registrasi Pengaduan.
(3) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan belum lengkap, maka petugas penerima Pengaduan memberikan surat pemberitahuan ketidaklengkapan dokumen paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya Pengaduan.
Pasal 43
(1) Pengaduan yang tidak lengkap paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) harus dilengkapi oleh pengadu.
(2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengadu belum melengkapi Pengaduan, maka Pengaduan dinyatakan tidak diterima.
Bagian Keempat
Pengklasifikasian dan Prioritas Penyelesaian
Pasal 44
(1) Petugas penerima Pengaduan melaksanakan klasifikasi bagi Pengaduan masyarakat.
(2) Penyelesaian Pengaduan masyarakat berdasarkan klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada urutan prioritas penyelesaian mulai dari yang paling lama hingga yang paling tercepat yaitu:
a. klasifikasi segera;
b. klasifikasi sangat segera; dan
c. klasifikasi penting.
(3) Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. klasifikasi segera, dalam hal permasalahan yang diadukan memiliki dampak tidak terpenuhinya hak atas memperoleh perizinan;
b. klasifikasi sangat segera, dalam hal permasalahan yang diadukan memiliki dampak tidak terpenuhinya hak atas memperoleh perizinan dan kerugian secara materiil; dan
c. klasifikasi penting, dalam hal permasalahan yang diadukan dapat menyebabkan terganggunya ketertiban umum dan/atau pertumbuhan ekonomi Daerah.
Bagian Kelima
Penelaahan dan Tanggapan
Pasal 45
(1) Petugas penerima Pengaduan melakukan penelaahan terhadap Pengaduan masyarakat.
(2) Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menentukan:
a. sumber permasalahan terhadap pelayanan Perizinan Berusaha;
b. dugaan adanya pelanggaran Standar Pelayanan dan SOP pelayanan Perizinan Berusaha;
c. faktor penyebab terjadinya pelanggaran terhadap pelayanan Perizinan Berusaha;
d. para pihak yang bertanggung jawab menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap pelayanan Perizinan Berusaha; dan/atau
e. instansi/lembaga atau Perangkat Daerah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(3) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat saran dan tindak lanjut penyelesaian permasalahan Pengaduan masyarakat berupa rekomendasi.
Pasal 46
(1) Kepala DPMPTSP menyampaikan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) kepada Bupati.
(2) Bupati mengirimkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi/lembaga atau Perangkat Daerah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(3) Tanggapan terhadap rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada pengadu.
(4) Dalam hal rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ditanggapi, pejabat atau staf yang berwenang di DPMPTSP melakukan koordinasi dan konsultasi dengan instansi/lembaga atau Perangkat Daerah yang berwenang menyelesaikan permasalahan terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
Bagian Keenam
Penatausahaan
Pasal 47
(1) Penatausahaan Pengaduan masyarakat meliputi:
a. pemberkasan;
b. penyimpanan;
c. penataan; dan
d. alih media.
(2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Pelaporan
Pasal 48
(1) Tim Layanan Pengaduan melalui kepala DPMPTSP menyampaikan laporan kegiatan Pengaduan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada Bupati.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah meliputi:
a. jumlah pengaduan;
b. jenis layanan yang diadukan;
c. rekomendasi dan hasil tindak lanjut rekomendasi; dan
d. hasil penyelesaian Pengaduan masyarakat.
Bagian Ketujuh
Pemantauan Dan Evaluasi
Pasal 49
(1) Bupati berwenang melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Pengaduan masyarakat.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kepala DPMPTSP.
(3) Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan dengan cara melaksanakan rapat kerja secara berkala dengan tim Layanan Pengaduan.
(4) Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan paling rendah 6 (enam) bulan dalam setahun atau sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 50
Pemantauan dan evalusi dilaksanakan untuk mengetahui:
a. tercapainya tujuan dari pengelolaan Pengaduan masyarakat;
b. kesesuaian antara pelaksanaan dengan perencanaan pengelolaan Pengaduan masyarakat; dan
c. dampak pelaksanaan pengelolaan Pengaduan masyarakat.
Pasal 51
(1) Pemantauan dilaksanakan dengan cara pengumpulan data dan informasi pada program pengelolaan Pengaduan masyarakat yang sedang dilaksanakan.
(2) Evaluasi dilaksanakan terhadap seluruh tahapan pengelolaan Pengaduan masyarakat.
(3) Evaluasi dapat dilaksanakan pada saat perencanaan, berjalannya kegiatan dan selesainya pelaksanaan kegiatan di akhir masa anggaran pada tahun yang bersangkutan.
(4) Hasil Pemantauan dan evaluasi digunakan untuk memperoleh informasi dan memberikan rekomendasi terhadap pelaksanaan kegiatan pengelolaan Pengaduan masyarakat.
(5) Hasil pemantauan dan evaluasi disampaikan kepala DPMPTSP kepada Bupati sebagai bagian dari pelaporan pertanggungjawaban sebagaimana diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENGELOLAAN INFORMASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 52
(1) Kecuali dalam hal Informasi Yang Dikecualikan, setiap orang berhak memperoleh Informasi terkait dengan Perizinan Berusaha.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melihat dan mengetahui informasi terkait dengan Perizinan Berusaha;
b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi terkait dengan Perizinan Berusaha;
c. mendapatkan salinan informasi terkait dengan Perizinan Berusaha melalui permohonan sesuai dengan Peraturan Daerah ini; dan/atau
d. menyebarluaskan informasi terkait dengan Perizinan Berusaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 53
DPMPTSP bertanggung jawab untuk:
a. melaksanakan kegiatan pengelolaan Informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat;
b. menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi terkait layanan Perizinan Berusaha yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon Informasi.
c. menyediakan Informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan;
d. memberikan alasan yang jelas kepada pemohon Informasi terhadap penolakan pemberian Informasi Yang Dikecualikan;
e. membuat SOP pemberian Informasi;
f. menyediakan sistem Informasi dan Dokumentasi yang terintegrasi; dan
g. membentuk dan menetapkan PPID pembantu sebagai pengelola pelayanan Informasi dan dokumentasi.
Pasal 54
Pengelolaan Informasi dilaksanakan dengan cara:
a. mengembangkan sistem informasi secara Daring dan Luring; dan
b. membentuk dan menetapkan PPID pembantu sebagai pengelola pelayanan Informasi dan dokumentasi.
Bagian Kedua
Pembentukan PPID Pembantu
Pasal 55
(1) Bupati berwenang menunjuk PPID pembantu dalam rangka pengelolaan Informasi di DPMPTSP.
(2) PPID pembantu ialah pejabat pada bagian atau bidang yang menangani Informasi dan dokumentasi di lingkungan DPMPTSP.
(3) PPID pembantu ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dan tugas PPID pembantu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pengembangan Sistem Informasi Secara Daring dan Luring
Paragraf 1
Pengembangan Sistem Informasi Secara Daring
Pasal 56
(1) DPMPTSP secara terkoordinasi dengan Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika bertanggung jawab untuk menyediakan sistem Informasi.
(2) Sistem Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara Daring melalui:
a. situs web; dan/atau
b. sistem aplikasi.
(3) Sistem Informasi secara Daring dilaksanakan secara terintegrasi dengan:
a. Sistem OSS; dan/atau
b. situs web milik Pemerintah Daerah.
Pasal 57
(1) Bupati membentuk Tim Pengembangan Sistem Informasi dalam rangka pengelolaan sistem Informasi secara Daring.
(2) Tim Pengembangan Sistem Informasi paling rendah terdiri dari:
a. pembina, yang dijabat oleh Bupati;
b. ketua, yang dijabat oleh kepala DPMPTSP;
c. sekretaris, yang dijabat oleh sekretaris DPMPTSP; dan
d. anggota.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri dari:
a. unit kerja sekretariat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;
b. Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
1. penelitian dan pengembangan Daerah; dan
2. komunikasi dan informatika;
c. Tenaga ahli sesuai kebutuhan.
(4) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c adalah setiap orang atau badan hukum yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang:
a. penelitian; dan/atau
b. teknologi informasi, yang terdiri dari:
1. perangkat lunak;
2. perangkat keras; dan/atau
3. programer.
(5) Pembentukan Tim Pengembangan Sistem Informasi beserta tugas dan tanggung jawabnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 58
Pengembangan Sistem Informasi dilaksanakan melalui tahapan:
a. perencanaan pengembangan;
b. analisa;
c. desain dan konstruksi sistem Informasi; dan
d. penyajian data.
Paragraf 2
Pengembangan Sistem Informasi Secara Luring
Pasal 59
(1) DPMPTSP dan setiap Perangkat Daerah teknis yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha bertanggung jawab untuk menyediakan Informasi terkait dengan Perizinan Berusaha.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jenis Informasi yang disediakan secara berkala.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah memuat:
a. profil kelembagaan Perangkat Daerah;
b. Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan dan SOP Perizinan Berusaha di Daerah;
c. penilaian kinerja DPMPTSP; dan
d. persyaratan dasar Perizinan Berusaha.
Pasal 60
(1) Pemberian layanan Informasi kepada masyarakat dilakukan dengan cara mengajukan permohonan secara tertulis.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. mencantumkan identitas yang jelas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan/atau peraturan perundang-undangan;
b. mencantumkan alamat dan nomor telepon yang jelas;
c. menyampaikan secara jelas jenis Informasi yang dibutuhkan; dan
d. mencantumkan maksud dan tujuan permohonan Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 61
(1) PPID pembantu bertanggung jawab menerima permohonan Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(2) PPID pembantu melakukan pencatatan permohonan Informasi dari Pemohon Informasi untuk kepentingan tertib administrasi.
(3) Paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima oleh PPID pembantu, PPID pembantu bertanggung jawab menanggapi permintaan Informasi melalui pemberitahuan secara tertulis.
(4) Tanggapan permintaan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. permintaan Informasi diterima;
b. permintaan Informasi ditolak; atau
c. perpanjangan waktu pemberitahuan permohonan diterima atau ditolak.
(5) Dalam hal tanggapan PPID pembantu membutuhkan perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, maka paling lambat 7 (tujuh) hari kerja PPID pembantu bertanggung jawab memberitahukan secara tertulis permintaan Informasi diterima atau permintaan Informasi ditolak.
Pasal 62
(1) Dalam hal permintaan Informasi diterima, maka dalam rangka tertib administrasi harus dicatatkan ke dalam formulir permintaan Informasi.
(2) Dalam hal permintaan Informasi ditolak, maka tanggapan Informasi ditolak harus dicantumkan alasan penolakan.
Pasal 63
(1) Formulir permintaan Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat disiapkan oleh PPID pembantu.
(2) Formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah memuat:
a. nomor formulir atau nomor pendaftaran;
b. nama pemohon Informasi;
c. alamat dan nomor telepon pemohon Informasi;
d. fotokopi kartu tanda penduduk pemohon Informasi;
e. subjek dan keterangan Informasi yang diminta;
f. alasan permintaan Informasi;
g. nama dan tanda tangan PPID pembantu; dan
h. tanggal diterimanya permohonan Informasi.
BAB VII
PENYULUHAN KEPADA MASYARAKAT
Pasal 64
(1) DPMPTSP bertanggung jawab dalam melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.
(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk penyebarluasan Informasi tentang:
a. hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap pelayanan Perizinan Berusaha;
b. manfaat Perizinan Berusaha bagi masyarakat;
c. persyaratan dan mekanisme layanan Perizinan Berusaha;
d. waktu dan tempat pelayanan; dan
e. tingkat Risiko kegiatan usaha.
(3) Penyelenggaraan penyuluhan kepada masyarakat dilakukan melalui:
a. media elektronik;
b. media cetak;
c. spanduk;
d. banner;
e. pamflet;
f. poster; dan/atau
g. pertemuan.
(4) Pelaksanaan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh DPMPTSP berkoordinasi dengan Perangkat Daerah teknis secara periodik.
Pasal 65
Penyuluhan kepada masyarakat dilaksanakan kepada:
a. Pelaku Usaha;
b. masyarakat umum;
c. organisasi/asosiasi pengusaha;
d. perangkat kecamatan; dan
e. perangkat dan masyarakat di desa/kelurahan.
Pasal 66
(1) DPMPTSP dapat melaksanakan kerja sama dalam rangka penyelenggaraan penyuluhan kepada masyarakat.Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan:
a. pemerintah Provinsi;
b. instansi vertikal;
c. organisasi/asosiasi;
d. perguruan tinggi; dan/atau
e. pemerintah desa/kelurahan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk:
a. penyediaan narasumber, pendamping dan/atau pengajar;
b. bimbingan dalam pemenuhan persyaratan dan mekanisme layanan Perizinan Berusaha; dan
c. penyediaan fasilitas penyuluhan, meliputi:
1. peralatan;
2. bahan penyuluhan;
3. tempat penyuluhan; dan/atau
4. modul.
(3) Ketentuan mengenai tata cara kerja sama Daerah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PELAYANAN KONSULTASI
Pasal 67
(1) DPMPTSP bertanggung jawab melaksanakan layanan konsultasi terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Layanan konsultasi diberikan kepada masyarakat untuk memperoleh wawasan, pemahaman dan cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi atau masalah terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(3) Layanan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. konsultasi teknis jenis layanan Perizinan Berusaha;
b. konsultasi aspek hukum Perizinan Berusaha; dan
c. pendampingan teknis.
(4) Layanan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh DPMPTSP berkoordinasi dengan Perangkat Daerah teknis secara interaktif.
Pasal 68
Pelayanan konsultasi dilaksanakan dengan cara:
a. penyediaan ruang konsultasi di DPMPTSP dan/atau MPP;
b. penyediaan pelayanan konsultasi secara Daring; dan
c. pembentukan tim pelayanan konsultasi oleh kepala DPMPTSP.
Pasal 69
(1) Kepala DPMPTSP bertanggung jawab membentuk tim pelayanan konsultasi untuk melaksanakan pengelolaan layanan konsultasi.
(2) Tim pelayanan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Bupati selaku penanggung jawab;
b. Sekretaris Daerah selaku pengarah;
c. kepala DPMPTSP selaku ketua; dan
d. anggota, yang berasal dari pejabat struktural dan pejabat fungsional yang membidangi Perizinan tertentu di DPMPTSP.
(3) Pembentukan dan pembagian tugas serta tangggung jawab dari tim pelayanan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala DPMPTSP atas nama Bupati.
Pasal 70
Pelayanan konsultasi harus dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan khusus dari Penyandang Disabilitas.
BAB IX
PENDAMPINGAN HUKUM
Pasal 71
(1) Pendampingan hukum dilakukan dalam hal terdapat permasalahan hukum dalam proses dan pelaksanaan perizinan yang melibatkan DPMPTSP.
(2) Pendampingan hukum diberikan kepada Pelaku Usaha dan pejabat atau staf di DPMPTSP.
(3) Pendampingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh unit kerja sekretariat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 72
(1) Pendampingan hukum kepada Pelaku Usaha meliputi:
a. memberikan konsultasi, pertimbangan atau pendapat hukum (legal opinion);
b. melaksanakan mediasi; dan
c. penyusunan dokumen hukum.
(2) Pendampingan hukum kepada pejabat atau staf di DPMPTSP meliputi:
a. memberikan konsultasi, pertimbangan atau pendapat hukum (legal opinion);
b. melaksanakan mediasi;
c. penyusunan dokumen hukum; dan
d. mendampingi dalam setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak hukum dalam hal sengketa keperdataan atau sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 73
Pelaku Usaha yang memperoleh Pendampingan hukum harus memenuhi persyaratan:
a. mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati;
b. beralamat atau berdomisili di Daerah; dan
c. memberikan data dukung berkenaan dengan permasalahan dalam proses dan pelaksanaan perizinan yang melibatkan DPMPTSP.
Pasal 74
Pendampingan hukum kepada pejabat atau staf di DPMPTSP dilaksanakan melalui koordinasi antara DPMPTSP dengan unit kerja sekretariat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 75
(1) Selain pendampingan hukum kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), juga termasuk pemberian bantuan hukum kepada Pelaku Usaha.Ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang pengalokasian anggaran penyelenggaraan bantuan hukum.
BAB X
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 76
(1) Bupati berwenang melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kepala DPMPTSP.
Pasal 77
(1) Pemantauan dan evaluasi dilakukan paling rendah 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Ketentuan mengenai pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 51 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 78
(1) Bupati bertanggung jawab melakukan pembinaan kepada:
a. Pelaku Usaha; dan
b. ASN yang memiliki tugas dan fungsi di bidang penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kepala DPMPTSP dan Perangkat Daerah teknis lainnya yang menyelenggarakan pelayanan Perizinan Berusaha.
(3) Pembinaan kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk pemenuhan norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pembinaan kepada pejabat atau staf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk meningkatkan kapasitas, pengetahuan dan kemampuan ASN di DPMPTSP, Perangkat Daerah teknis, kecamatan dan desa/kelurahan guna mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
Pasal 79
(1) DPMPTSP dan Perangkat Daerah teknis lainnya yang menyelenggarakan pelayanan Perizinan Berusaha dapat melakukan kerja sama dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara DPMPTSP dan Perangkat Daerah teknis yang menyelenggarakan pelayanan Perizinan Berusaha dengan:
a. perguruan tinggi;
b. organisasi/asosiasi pelaku usaha;
c. lembaga pendidikan dan pelatihan; dan
d. pemerintah daerah lainnya.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 80
Pembinaan dilakukan dalam bentuk:
a. pendampingan;
b. Penyuluhan;
c. pelatihan;
d. bimbingan teknis;
e. alih teknologi; dan
f. pemberian tugas belajar.
Bagian Kedua
Pengawasan
Paragraf 1
Umum
Pasal 81
(1) Bupati berwenang melakukan Pengawasan terhadap penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mengendalikan dan melindungi pelaksanaan suatu kegiatan usaha dikaitkan dengan Risiko yang ditimbulkan;
b. mendorong terwujudnya penyelenggaraan Perizinan Berusaha yang bersih dan berkualitas;
c. mencegah pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha; dan
d. menegakkan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha.
Pasal 82
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan Perizinan Berusaha dilaksanakan berbasis Risiko.
(2) Pengawasan berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. memastikan pemenuhan norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko oleh Pelaku Usaha; dan/atau
b. mengumpulkan data, bukti dan/atau laporan terjadinya bahaya terhadap keselamatan, kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau bahaya lainnya yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan kegiatan usaha.
Pasal 83
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan Perizinan Berusaha dilaksanakan berdasarkan pertimbangan:
a. tingkat Risiko kegiatan usaha; dan
b. tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
(2) Dalam hal tingkat Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a semakin tinggi, maka Pengawasan semakin sering dilakukan.
(3) Dalam hal tingkat kepatuhan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b semakin rendah, maka Pengawasan semakin sering dilakukan.
Pasal 84
(1) Pengawasan terhadap Pelaku Usaha di Daerah meliputi:
a. Pengawasan rutin; dan
b. Pengawasan insidental.
(2) Pengawasan terhadap UMK dilakukan dalam bentuk pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.
Pasal 85
Pengawasan dilakukan oleh:
a. DPMPTSP, terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha;
b. Perangkat Daerah teknis lainnya yang menyelenggarakan Perizinan Berusaha, terkait dengan verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha dan penerbitan sertifikat standar sesuai sektor dan sub sektor kegiatan usaha; dan/atau
c. tim terpadu, terkait dengan:
1. kegiatan usaha yang dijalankan Pelaku Usaha memiliki pembina lintas sektor; atau
2. persetujuan Perizinan Berusaha melibatkan lebih dari 1 (satu) Perangkat Daerah teknis di Daerah.
Pasal 86
Hasil Pengawasan digunakan untuk memberikan masukan dan pertimbangan kepada DPMPTSP bagi penetapan tingkat Risiko kegiatan usaha di Daerah.
Paragraf 2
Tim Terpadu
Pasal 87
(1) Bupati membentuk tim terpadu untuk melaksanakan Pengawasan secara terintegrasi.
(2) Tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) terdiri dari:
a. Bupati selaku penanggung jawab;
b. Sekretaris Daerah selaku ketua;
c. kepala DPMPTSP selaku ketua pelaksana; dan
d. anggota, yang berasal dari pejabat atau staf pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
1. pekerjaan umum dan penataan ruang;
2. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;tenaga kerja;
3. lingkungan hidup;
4. perhubungan;
5. komunikasi dan informatika;
6. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
7. kelautan dan perikanan;
8. pariwisata;
9. pertanian;
10. energi dan sumber daya mineral;
11. perdagangan; dan/atau
12. perindustrian.
(3) Pembentukan, pembagian tugas dan tangggung jawab tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 88
(1) Tim terpadu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dibantu oleh sekretariat yang memiliki fungsi fasilitatif di bidang tata usaha.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada DPMPTSP.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh sekretaris DPMPTSP.
(4) Anggota sekretariat terdiri dari pejabat administrasi dan/atau pejabat fungsional di bidang Perizinan Berusaha pada DPMPTSP.
Pasal 89
Tim terpadu dalam melakukan Pengawasan dapat dilakukan secara terkoordinasi dengan:
a. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. instansi vertikal terkait di Daerah.
Paragraf 3
Pengawasan Rutin
Pasal 90
(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a dilaksanakan setiap 3 (tiga) bulan dalam setahun.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan pada pelaksanaan kegiatan usaha di Daerah.
Paragraf 4
Pengawasan Secara Insidental
Pasal 91
(1) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan:
a. Pengaduan masyarakat; dan
b. Informasi atau temuan mengenai dugaan pelanggaran di dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Pengawasan insidental dilakukan kepada kegiatan usaha berisiko rendah.
Pasal 92
Pengaduan masyarakat dan informasi atau temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) terkait dengan:
a. ketentuan mengenai persyaratan perizinan yang harus dipenuhi;
b. kesesuaian antara Perizinan Berusaha yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dengan jenis kegiatan usaha yang dilakukan oleh Pelaku Usaha; dan
c. Pelaku Usaha yang menjalankan kegiatan usaha tanpa memiliki Perizinan Berusaha.
Pasal 93
Setiap Perangkat Daerah teknis yang terkait dengan Perizinan Berusaha bertanggung jawab dalam Pengawasan insidental.
BAB XIII
PELAPORAN
Pasal 94
(1) DPMPTSP bertanggung jawab menyusun pelaporan kinerja penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Dalam hal tugas dan fungsi penyelenggaran Perizinan Berusaha juga dilaksanakan oleh kecamatan atau pemerintah desa/kelurahan, maka tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan oleh kecamatan atau pemerintah desa/kelurahan.
(3) Pelaporan oleh DPMPTSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati.
(4) Pelaporan oleh kecamatan atau pemerintah desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bupati melalui DPMPTSP.
(5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan Informasi publik yang dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat.
(6) Pelaporan dilakukan paling rendah 1 (satu) kali dalam setahun.
BAB XIV
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 95
(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memberikan pendapat dan/atau masukan dalam tahapan perencanaan atau penyusunan kebijakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha;
b. melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk mengadakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan Perizinan Berusaha; dan
c. ikut melakukan Pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha.
BAB XV
PENDANAAN
Pasal 96
Pendanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja Daerah; dan
b. pendapatan lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB XVI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 97
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan dalam peraturan daerah ini.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Perizinan Berusaha agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai Perizinan Berusaha tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari Perizinan Berusaha sehubungan dengan tindak pidana;
d. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
f. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
h. menghentikan penyidikan; dan
i. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan pidana menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 98
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindakan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelanggaran.
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 99
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, permohonan Perizinan Berusaha yang sementara dalam proses dan Perizinan Berusaha yang telah ditetapkan sebelum Peraturan Daerah ini mulai berlaku, harus disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Peraturan Daerah ini diundangkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 100
(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Bupati mengenai pendelegasian kewenangan yang telah ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan diundangkannya peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Penetapan Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 101
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Alor.
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TAHUN 2022 NOMOR 04
NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR: NOREG 04/2022
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR
NOMOR 4 TAHUN 2022
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA
I. UMUM
Pasal 33 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa demokrasi ekonomi menuntut partisipasi rakyat sepenuhnya, yaitu melaksanakan bahkan ikut menikmati hasil pembangunan.
Untuk menjalankan amanat Pasal 33 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, di dalam Visi dan Arah Pembangunan Jangka Panjang Indonesia 2005-2025 khususnya dalam bidang Hukum menginginkan adanya penyederhanaan syarat dan prosedur dalam penerbitan berbagai perizinan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka penyederhanaan syarat dan prosedur dalam penerbitan berbagai perizinan adalah dengan membuat paket kebijakan deregulasi dan reregulasi terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak mendukung investasi, utamanya bidang perizinan dengan memberikan kemudahan berusaha melalui kebijakan hukum perizinan. Bentuk dari komitmen pemerintah dalam mendorong kebijakan hukum perizinan adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Kewenangan pemerintah daerah di dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha antara lain penolakan permohonan pelayanan yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, pelaksanaan penerbitan produk layanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pencabutan dokumen Perizinan Berusaha. Melalui pengaturan mengenai Perizinan Berusaha ini akan menjadi dasar hukum pemerintah daerah Kabupaten Alor melaksanakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha guna mewujudkan efektifitas dan penyederhanaan perizinan usaha bagi pelaku usaha serta mampu meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha di Kabupaten Alor.
Peraturan Daerah Kabupaten Alor mengenai Penyelenggaraan Perizinan Berusaha mengatur mengenai jenis perizinan, persyaratan perizinan, pelaksanaan pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi, penyuluhan kepada masyarakat, pelayanan konsultasi, pendampingan hukum, pemantauan dan evaluasi, pembinaan dan Pengawasan, pelaporan dan pendanaan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Yang dimaksud dengan pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memfasilitasi kelompok rentan, Lanjut Usia dan/atau Penyandang Disabilitas dalam melaksanakan dan menyelesaikan tahapan atau proses Perizinan Berusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan konsultasi teknis jenis layanan Perizinan Berusaha misalnya konsultasi terkait dengan persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam rangka pengurusan Perizinan Berusaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan konsultasi aspek hukum Perizinan Berusaha misalnya konsultasi terkait dengan dasar hukum peraturan perundang-undangan, jenis larangan dankewajiban yang diatur di dalam ketentuan Perizinan Berusaha dan lain sebagainya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pendampingan teknis misalnya pendampingan dalam menyusun persyaratan, menuliskan formulir, dan memberikan penjelasan terkait hal teknis lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 606