“Seperti materi yang disampaikan Wakil Ketua KPK (Alexander Marwoto), bahwa ada persekongkolan antara swasta dengan DPRD atau swasta dengan pemerintah. Ini yang saya angkat persoalan pembangunan Gedung Kantor DPRD Alor dan Pasar Kadelang, daripada nanti berdampak hukum, saya diseret-seret, dibawah-bawah. Maka saya pertegas lagi bahwa saya tidak pernah menyetujui pembangunan dua mega proyek itu. Di forum itu, saya mempertegaskan bahwa ada dua mega proyek di Alor itu seperti materi yang disampaikan narasumber, tentang kong kali kong dan sebagainya itu. Saya pertegas laporan masyarakat sesuai materi yang disampaikam KPK, tetapi bahasa wartawan itu yang buat enak, bahwa Laporkan Bupati Alor ke KPK, itu kan tambah-tambah bahasa wartawan”.
DEMIKIAN klarifikasi yang disampaikan Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek,SH kepada media ini, Minggu (23/10/2022) malam. Menurut Anggrek, dia tidak melakukan pembohongan publik, atau merusak nama baik derah, ketika berbicara dalam forum Rapat Koordinasi tentang Pemberantasan Korupsi terintegrasi yang dihadiri Wakil Ketua KPK RI, Alexander Marwoto, pada Rabu (19/10/2022) di Hotel Aston, Kota Kupang.
Menurut Anggrek, materi yang disampaikan pemateri antara lain tentang manajemen ASN, dimana semua permasalahan pembangunan harus menjadi prioritas perhatian ASN di masing-masing daerah. Materi dari Kementrian Dalam Negeri terkait Peraturan tentang Anggaran. Sedangkan dari KPK menyangkut kong kali kong atau persekongkolan swasta dengan DPRD atau swasta dengan Pemerintah tanpa melihat secara urgent prioritas yang diusulkan mamsyarakat. Menurut KPK, kata Anggrek, biasanya membuat proyek-proyek dengan rekayasa yang bukan merupakan kebutuhan dan usulan masyarakat, sehingga NTT ini tergolong daerah dengan kasus korupsi terbesar sehingga KPK perlu hadir.
Dalam Rakor itu, cerita Anggrek, dia sempat diminta bicara, bukan dia yang mengacungkan tangan untuk minta berbicara. Maka Anggrek mengaku mengangkat sejumlah masalah, sesuai materi yang disampaikan sejumlah nara sumber, diantaranya mengenai materi menyangkut manajemen ASN (Aparatur Sipil Negara) agar bekerja dengan baik mendukung pemerintah dan DPRD supaya program-program dapat berjalan sesuai aturan dan regulasi untuk kepentingan masyarakat.
“Tetapi di Alor, saya bilang, ASN malah para pimpinan OPD mendemo Ketua DPRD Alor. Itu yang saya omong, apakah masuk dalam manajemen ASN yang disampaikan oleh Ketua BPK RI. Apakah program-program pembangunan bisa berjalan dengan baik kalau ASN pergi demonstrasi,”kata Anggrek.

Yang kedua, kata Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Alor ini, bahwa dia bicara terkait materi KPK menyangkut pihak swasta yang bekerja sama dengan DPRD atau swasta bekerja sama dengan pemerintah.
“Saya bilang di Alor itu ada masalah dua mega proyek yang pada waktu Covid-19, dilarang oleh Kementrian Keuangan, dan hanya membolehkan pembangunan seperti pembangunan Puskesmas, jalan atau rumah sakit. Tetapi di Alor ada pembangunan gedung DPRD maupun Pasar Kadelang. Ini yang nanti kalau berdampak hukum, maka saya tegaskan di sini, bahwa saya tidak pernah menyetujui pembangunan dua mega proyek. Sebagai Ketua DPRD Kabupaten Alor, saya tidak pernah menyetujui pembangunan kedua mega proyek yang tidak multi years dan dilakukan pada saat Covid-19 yang sudah dilarang,”tegas Anggrek.
Ia berpendapat, bahwa pembangunan secara bertahap dengan kontrak tunggal itu akan berdampak pada hukum. Karena, lanjut Anggrek, masa pemeliharaan itu, misalnya untuk pekerjaan Tahun 2021, yang dikerjakan sampai Desember 2021, tetapi nyatanya sampai Pebruari 2022 karena ada denda keterlambatan.
“Berarti masa pemeliharaan enam bulan itu sampai Juli-Agustus 2022, baru bisa laksanakan tender untuk tahap kedua. Maka tidak bisa bangunan itu dilaksanakan secara bertahap karena ada mekanismenya. Kalau bangunan rubuh, siapa yang bertangungjawab karena tahap pertama yang kerja orang lain, tahap kedua orang lain,”ujar Anggrek.
Setelah proyek (tahap pertama) selesai, demikian Anggrek, masa pemeliharaan selama enam bulan, tetapi yang terjadi, sebelum enam bulan sudah proses lelang tahap kedua, FAO-nya dimana, karena baru PHO.
“Belum ada FAO koq kalian (pemerintah) proses lelang, syarat prima keduanya belum ada. Ini yang tidak bisa kerja bertahap dengan kontrak tunggal. DPRD Alor tidak pernah sepakat kontrak tunggal. Kita setuju secara am atau secara garis besar, berapa belanja pegawai, berapa belanja barang dan jasa, tetapi dalam pembahasan dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah, itu sudah ada teguran bahwa tidak bisa, tetapi setelah keluar dari ruangan, mereka katakan itu tanggungjawab pemerintah, bukan DPRD. Yang penting, dalam persidangan, kami tidak pernah menyetujui, bukti rekaman ada, bukti notulen rapat ada, saya punya semua,”beber Anggrek.
Ia juga mengaku bahwa dalam pidato politiknya, dia sudah sampaikan, maupun dalam Pemandangan Umum Fraksi juga sudah dia sampaikan. Alasannya, karena ini akan berdampak hukum di kemudian hari, dan sebagai Ketua DPRD Alor, dia tidak pernah menyetujui.
“Bahwa saya memanandatangani persetujuan KUA-PPAS, maupun menandatangani dokumen APBD (TA.2021 dan 2022) itu, anggarannya secara umum, tetapi dalam pembahasan sudah ditolak sehingga harus ganti, tetapi kalau mau tetap (dengan sistim kontrak tunggal) maka itu urusannya pemerintah. Dalam pembahasan kita tidak setuju, palu sudah jatuh, tok… tidak setuju. Tetapi keluar buat lain itu bukan urusan kita,”tandas Anggrek.
Soal tanda tangan KUA-PPAS itu, kata dia, secara garis besar belanja pegawai berapa, belanja barang dan jasa berapa. Ia mengemukakan, bahwa pemerintah tidak pernah memberikan data secara terperinci belanja pegawai berapa, belanja barang dan jasa.
“Diminta tidak pernah kasih. Dalam rapat di DPRD itu kami tidak setuju, tetapi pemerintah mengatakan bahwa itu bukan urusan kita (DPRD). Sebagai Ketua Badan Anggaran, saat rapat dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah itu, saya tidak pernah menyetujui kontrak tunggal karena akan berdampak hukum. Kalau fraksi-fraksi lainnya menyetujui kontrak tunggal, dan nantinya berdampak hukum maka fraksi-fraksi yang menyetujui silahkan bertanggungjawab, tetapi saya tetap tidak menyetujui,”kata Anggrek.

Dalam Rapat Badan Anggaran dengan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah), Anggrek mengaku sudah menolak kontrak tunggal, tetapi pemerintah tetap pakai kontrak tunggal. Menurutnya, dalam Paripurna Pemandangan Umum Fraksi itu, Bupati Alor menjelaskan tentang kontra tunggal, tetapi dalam pidato politiknya, Anggrek mengatakan tidak bisa kontrak tunggal karena akan berdampak hukum.
Yang penting, lanjut Anggrek, dalam pembahasan dengan Banggar, dia selaku Ketua Banggar, sudah tegaskan bahwa tidak bisa kontrak tunggal, harus multi years.
“Saya pimpin rapat Banggar dan saya ketuk palu koq untuk menolak kontrak tunggal, saya punya bukti rekaman dan notulen rapat. Saat asistensi RAPBD kepada Pemerintah Propinsi NTT, bukan Propinsi tidak mempersoalkan sistim kontrak tunggal karena tidak masalah, tetapi Propinsi tidak menjawab. Saat asistensi, saya yang angkat persoalan, bahwa masih sedang Covid-19 sehingga pemerintah pusat melarang tidak boleh ada pembangunan gedung, tetapi di Alor ada pembangunan gedung DPRD dan Pasar Kadelang, sehingga perlu ketegasan Pemerintah Propinsi NTT. Tetapi dalam rekomendasinya, pemerintah propinsi tidak menjawab apakah boleh membangun di saat Covid-19 atau tidak sehingga kewenangan kembali ke daerah,”jelas Anggrek.
Soal kontrak tunggal atau multi years itu, lanjut Anggrek, kalau kewenangan bupati yang mengambil kebijakan, maka silahkan saja. Dari awal dia menegaskan bahwa sudah katakan, bahwa sebagai Ketua DPRD dia tidak setuju, tetapi pemerintah mau ambil kebijakan kontrak tunggal maka itu hak pemerintah, kalau berdampak hukum, dia tidak bertanggungjawab.
“Jadi itu bukan saya sampaikan hoax (berita atau ionformasi bohong), atau pembohongan publik, tetapi fakta bahwa sebagai Ketua DPRD saya tidak setuju pembangunan Gedung Kantor DPRD dan Pasar Kadelang di masa Covid-19, dan dengan sistim kontrak tunggal. Ini sudah tertuang di dalam Pemandangan Umum dan Pendapat Fraksi PDI Perjuangan dan di dalam Pidato Politik saya sebagai Ketua DPRD Alor,”tegas Anggrek.
Menurut Anggrek, fungsinya melekat sebagai Ketua Badan Anggaran, besok-besok jika ada apa-apa berarti dia turut bertangungjawab, kenapa kontrak tunggal, kenapa dalam kondisi Covid-19 tetapi ada pembangunan gedung.
“Saat saya diperiksa KPK kan ada pertanyaan, “Saudara tahu tidak, bahwa kondisi Covid-19, ada keputusan bapak Presiden bahwa tidak boleh membangun gedung melalui Menteri Keuangan.”. Makanya saya bilang di KPK bahwa bapak/ibu datang saja ke Kabupaten Alor untuk periksa supaya tahu lebih jelas, saya pribadi siap menjadi saksi. Karena sebagai Ketua DPRD Alor, saya tidak pernah menyetujui pembangunan Gedung DPRD dan Pasar Kadelang dalam kondisi Covid-19, yang mana ada Surat Edaran Menteri Keuangan RI yang tidak memperbolehkan ada pembangunan gedung baru, kecuali Puskesmas, Rumah Sakit atau pembangunan jalan. Makanya saat itu saya pertahankan untuk tidak mau, tetapi pemerintah buat lain, itu urusan pemerintah. Tetapi saya tidak lakukan pembohongan publik dan mencemarkan nama baik daerah,”ujar Anggrek.

Untuk diketahui, Bupati Alor, Drs.Amon Djobo,M.AP kepada media ini melalui telepon seluler, Sabtu (22/10/2022) pagi, mengatakan apa yang dilakukan Enny Anggrek ini sebagai pembohongan publik dan merusak nama baik daerah. Djobo menilai Enny Anggrek selalu mencurigai orang tanpa data dukung.
“Jadi jangan suka curiga sesuatu tanpa data, lalu berbicara di muka umum untuk menjelekkan daerah ini. Pemimpin yang hadir untuk melayani, jangan bertindak seperti orang-orang upahan yang sekedar hidup untuk cari makan, kemudian berpikran jelek dan merusak nama baik daerah. Kalau punya bukti data bahwa ada yang korupsi, ada kerja proyek yang salah, maka lapor kepada Polisi, Jaksa, KPK sesuai prosedur, bukan bicara dalam forum yang di luar konteks. Itu pembohongan publik yang merugikan masyarakat. Orang-orang seperti ini tidak usah dipilih lagi,”tegas Djobo.
Bupati Alor dua periode ini menjelaskan, pembangunan gedung Kantor DPRD Alor dan Pasar Kadelang itu bukan dengan sistim tahun jamak atau multi years, tetapi kontrak tunggal. Menurutnya, pekerjaan lebih dari satu tahun, tetapi kontrak tunggal itu sesuai dengan kemampuan keuangan daerah pada satu Tahun Anggaran.
Kalau kontrak tahun jamak, jelas Djobo, satu kali tender lalu satu pemenang itu yang kerjakan, tetapi jumlah dananya sudah ditentukan. Dengan kondisi keuangan daerah yang sering mengalami refocusing serta tingkat kemahalan yang terus bergerak, ujar Djobo, maka Pemerintah dan DPRD Kabupaten Alor telah sepakati melalui pembahasan APBD dengan sistim kontrak tunggal.
“Artinya tahun ini kita dapat dana berapa, kita tenderkan, lalu tahun berikutnya kita tenderkan lagi dengan pagu dana sesuai kemampuan keuangan daerah. Dengan demikian, setelah tahun pertama, maka dilakukan lagi tender untuk pekerjaan tahun berikutnya. Sehingga belum tentu kontraktor yang melaksanakan pekerjaan pada tahun pertama, menang tender lagi untuk pekerjaan di tahun kedua seperti yang terjadi pada pembangunan gedung Kantor DPRD Alor itu,”jelas Djobo.
Pekerjaan ini kan, lanjut Djobo, ada pendampingan pihak kejaksaan, sehingga kalau menyalahi aturan tentu jaksa persoalkan. Menurut Djobo, menjadi persoalan jika yang disepakati dengan DPRD adalah tender multi years atau tahun jamak, tetapi Pemkab Alor melakukan kontrak tunggal. Kenyataannya, kata Djobo, Pemerintah dan DPRD Kabupaten Alor ketika membahas RAPBD murni Tahun Anggaran (TA) 2021 dan TA.2022, telah menyepakati pembangunan gedung Kantor DPRD Alor dan Pasar Kadelang dengan sistim kontrak tunggal sehingga ditetapkan dalam Perda tentang APBD Alor TA.2021 dan TA.2022.
“Makanya saat pemerintah menjelaskan itu jangan bermain HP, sehingga dengar baik-baik apa yang pemerintah jelaskan. Kamu yang pegang itu palu sidang, kenapa persoalkan lagi apa yang telah disepakati bersama. Kecuali ada orang tertangkap tangan karena ada korupsi di situ. Korupsi itu ada beberapa hal, seperti prosesnya tidak sesuai prosedur, kedua ada mark up, ketiga, kualitas pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, atau ada yang antar uang kepada orang tertentu yang punya kaitan dengan pekerjaan tersebut, baru silahkan lapor agar ditangkap,”tegas Djobo.
Tetapi, lanjut Djobo, pekerjaan gedung Kantor DPRD Alor dan Pasar Kadelang itu sudah sesuai mulai dari proses administrasi, tender dan penentuan pemenang tender, kemudian dikerjakan sesuai kontrak yang disepakati, serta ada pendampingan pengawasan pihak kejaksaan, sehingga salahnya di mana.

“Jadi apa yang dikemukakan Ketua DPRD Alor dalam rapat koordinasi di propinsi itu merupakan pembohongan publik dan merusak nama baik daerah ini. Saya ini kerja tulus untuk daerah ini, sehingga saya selalu bilang, kerja baik karier panjang umur panjang, kerja tidak baik maka karier pendek umur juga pendek,”tandas mantan Camat Alor Timur ini, seraya mengungkapkan bahwa Indeks Korupsi di NTT, Kabupaten Alor paling rendah karena pemrintah selalu bekerja sesuai sistim dan mekanisme.
“Jadi jangan duduk dan curiga orang kiri kanan tanpa data. Pejabat itu harus bisa memilah, mana yang patut diomongkan, mana yang tidak patut. Harus mengerti persoalan baru omong. Pemerintah kan sudah menjelaskan sejak jawaban terhadap Pemandangan Umum Fraksi, Rapat-rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Anggaran, Pedapat Akhir Fraksi hingga penyesuaian hasil asistensi dengan Pemerintah Propinsi NTT. Makanya saat dijelaskan pemerintah itu jangan main HP supaya mengerti. Kalau model begitu, biar nanti pakai Perbup (Peraturan Bupati untuk APBD Alor TA.2023). Nanti kita bahas RAPBD bersama, sudah disepakati bersama pula dan kamu ketuk palu, tetapi kemudian persoalkan lagi bukan pada tempatnya. Lebih baik palu itu serahkan saja kepada tukang kayu untuk kerja bangunan,”sentil Djobo.
Menurutnya, penyerapan APBD Kabupaten Alor pada TA.2021 mencapai 98 %, dan hasil pemeriksaan BPK Perwaklan NTT, mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian. Pertanggungjawaban Pelaksakaan APBD TA.2021, lanjut Djobo, juga telah dilakukan dan tidak ada permasalahan yang muncul terkait belanja.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Alor, Drs.Yulius Mantaon menilai tindakan Ketua DPRD Alor, Enny Anggrek,SH yang mengangkat persoalan terkait Pembangunan Gedung Kantor DPRD Alor senilai Rp 25 Milyar dan Pasar Kadelang sebesar 23,4 Milyar dalam Rapat Koordinasi tentang Pemberantasan Korupsi Terintegrasi dengan Wakil Ketua KPK RI, Alxandar Marwata di Hotel Aston, Kota Kupang, Rabu (19/10/2022), adalah tindakan sepihak secara pribadi yang sangat mencidrai kemitraan pemerintahan di daerah ini.
“Kita di DPRD tidak mengenal Kepala DPRD tetapi Ketua DPRD. Pimpinan DPRD Alor itu ada tiga orang, sehingga kolektif kolegial, tetapi tindakan ketua DPRD itu secara pribadi, bukan lembaga, karena kalau secara lembaga harus terlebih dahulu melalui pembahasan bersama, misalnya Rapat Pimpinan, atau Rapat Dengan Alat-Alat Kelengkapan DPRD. Tindakan Ketua DPRD ini sangat merusak sistim pemerintahan daerah. Yang namanya pemerintahan daerah itu, bupati dan DPRD sebagai mitra. Kalau hanya baku cari kesalahan, saling menjatuhkan itu sangat disayangkan,”tandas Mantaon.
Lebih lanjut mantan Sekretaris DPRD Alor ini berpendapat, bahwa dalam sistim pemerintahan, DPRD bukan Watching Dogs yang mencari-cari kesalahan bupati. Menurutnya, kalau saling mengingatkan maka DPRD bersurat kepada Bupati, dan kemudian DPRD melaksanakan fungsinya sesuai aturan, bukan berkoar-koar di luar sana. Hal-hal yang dipesoalkan itu, demikian Mantaon, sudah dijelaskan pemerintah dalam rapat-rapat di DPRD saat Pembahasan RAPBD murni maupun Perubahan APBD, kemudian diasistensi bersama kepada pemerintah Propinsi NTT, dilakukan penyesuaian kemudian ditetapkan.
“Kalau mekanisme multi years, maka satu kontraktor yang menang tender akan melaksanakan pekerjaan seluruhnya. Tetapi kalau kontrak tunggal, maka ada prinsip kehati-hatian. Siapa (kontraktor) yang bekerja tidak betul, ganti. Hal ini sudah dijelaskan pemerintah dalam rapat-rapat di DPRD. Sehingga apa yang dilakukan (Ketua DPRD) itu, saya sangat merasa tidak nyaman karena sudah mengganggu sistim,”ujar Mantaon. (ap/linuskia)