Kebijakan Bupati Alor di Masa Emergensi – RR, dan Minta Jangan Politisir Kondisi Bencana

author
8 minutes, 23 seconds Read

BUPATI Kabupaten Alor, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Drs.Amon Djobo didampingi Dandim 1622 Alor, Letkol (Kav) Supiyan Munawar,S.Ag dan Kapolres Alor, AKBP.Agustinus Christmas,S.I.K., bersama Sekda , Drs.Soni O.Alelang dan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), mengikuti rapat virtual (online) dengan Kepala BNPB, Doni Monardo, Sabtu (11/4/2021) malam di aula Rumah Jabatan Bupati Alor.
Pantauan alorpos.com, dalam rapat itu, para bupati/walikota di Propinsi NTT yang terkena dampak bencana Badai Siklon Tropis Seroja, untuk melaporkan data korban jiwa, baik yang sudah ditemukan maupun dalam pencarian, serta berbagai kerusakan rumah penduduk, fasilitas umum dan berbagai infrastruktur lainnya, sesuai tingkat kerusakan masing-masing.
Usai rapat dimaksud, bupati Amon Djobo kepada wartawan menyampaikan informasi terkait tindak lanjut pelayanan Pemkab Alor, seluruh badan-badan kemanusiaan dan TNI Polri pada sejumlah lokasi kejadian bencana di daerah ini.
Kita di Alor, kata Djobo, yang jatuh korban jiwa terdapat pada enam kecamatan, antara lain di Kecamatan Pantar Tengah, pada Desa Tamakh, Pantar Timur di Desa Nule dan Desa Kaleb dengan total korban 12 orang. Kemudian di Pulau Alor, kecamatan yang dengan korban manusia terbanyak ada di Desa Lipang, Kecamatan Alor Timur Laut sebanyak 17 orang, dimana 5 orang telah ditemukan dalam keadaan meninggal dan 12 lainnya masih dalam pencarian. Menyusul Kecamatan Alor Tengah Utara di Desa Welai Selatan, dan Kecamatan Alor Selatan di Desa Maleipea. Total korban manusia 41 0rang, dimana 28 orang telah ditemukan, dan 13 lainnya masih dalam pencarian.
Terkait pencarian korban di masa emergensi, jelas Djobo, sesuai Prosedur Tetap (Protap), maka Kepala Daerah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang masa Tanggap Darurat. Setelah Tanggap Darurat, maka terbit lagi SK tentang Darurat Kepemulihan, kemudian masa Rehabilitasi dan Rekonstruksi (RR).

“Ada media tertentu yang memojokkan pemerintah, seakan-akan dengan bencana ini, manusia lapar. Ini yang saya bilang, turun di lapangan dan ikuti fakta yang sebenarnya. Sekarang ini musim panen masyarakat, dari musim tanam Tahun 2020-2021. Saya sudah keliling pada semua lokasi yang terkena dampak bencana alam, sejak kejadian pada Minggu (4/4/2021) itu, sehingga saya lihat persediaan pangan cukup baik. Kecuali banjir dan tanah longsor itu membelah lokasi kebun masyarakat. Itupun jumlahnya tidak seberapa,”tandas Djobo.
Karena itu, lanjut Djobo, Pemkab Alor sejak awal bencana itu, sudah mendistribusi beras sebanyak 30 ton melalui Dinas Sosial. Selain itu mengucurkan bantuan untuk pengadaan peti jenasah dan biaya penguburan sebesar Rp 3 Juta/jenasah. Sedangkan 12 orang yang masih dinyatakan hilang, terang Djobo, menjadi tanggung jawab pemerintah di masa emergency.
“Tetapi kami punya tanggungjawab sesuai SK itu, akan berjalan selama dua minggu. SK Pemerintah itu setelah melihat kelayakan-kelayakan teknis yang dilakukan tim SAR, maupun badan-badan kemanusiaan, termasuk TNI-Polr dan para relawan yang mencari jenasah. Sampai saat ini, tadi saya baru dari Irawuri-Alor Timur Laut, Kapal Pol Air dan Brimob dari Mabes Polri bersama anjing pelacak, tetapi akses ke Desa Lipang itu tidak bisa, karena ruas jalan terputus sehingga alami kesulitan,”kata bupati Djobo.

Badan SAR bersama sebagian anggota TNI-Polri, Pol PP dan sejumlah pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), termasuk dokter dan paramedis, lanjut Djobo, ada di Desa Lipang untuk berpartisipasi mencari para korban, tetapi timbunan longsoran itu sangat tinggi.

“Mungkin saja, ada korban yang terbawa arus banjir sampai ke laut, dan tersdampar maka bisa ditemukan oleh tim SAR dan anjing pelacak, tetapi kalau tertimbun dengan kedalaman 10 meter, kira-kira bisa ditemukan atau tidak, tentu sulit,”katanya.

Jembatan Taramana-Alor Timur Laut yang terputus. Foto: PMI Kab.Alor ketika hendak mengantar bantuan untuk warga Desa Lipang.

Kecuali, sambung Djobo, ada alat berat yang menggali, tetapi alat berat seperti excavator tidak bisa dimobilisasi menuju Desa Lipang, karena ruas jalan yang terputus, dengan topografi yang sulit. Djobo mencontohkan, saat dia berkunjung ke Maleipea dan Welai Selatan di Mainang, lalu mendapat komplain dari masyarakat yang sangat membutuhan loder atau excavator, sehingga pemerintah masih terus untuk memobilisasi alat berat dimaksud jika kondisi memungkinkan.
“Exavator ini bukan sama dengan layang-layang atau kayu api yang bisa kita ikat dan pikul bawah. Tetap kita akan mobilisasi, tetapi kalau jalan putus, mau bagaimana. Sekarang di Lipang, Pido itu, alat berat ada, tetapi kita mobilisasi bagaimana coba. Ada alat berat loder dan exavator di Lantoka, milik Ako Honda yang sedang mengerjakan Puskesmas Lantoka. Alat itu kita bisa geser ke Taramana, kemudian menuju Taramana Lama, Asirpat baru ke Lipang. Tapi itu menempuh perjalanan yang jauh, sama dengan jarak Kalabahi ke Lipang, sekitar 22 Km lebih. Karena itu, kalau upaya pemerintah ini agak terlambat, bukan karena pemerintah tidak punya kemauan baik, tetapi karena akses transportasi dan komunikasi yang sangat berat,”tegas Djobo.
Untuk kondisi di Pulau Pantar, bupati Djobo mengaku bersama Kepala Bappelitbang, Obeth Bolang, telah menyusuri wilayah terkena dampak bencana banjir bandang, tanah longsor dan angin kencang, mulai dari Desa Tamakh di Pantar Tengah, sampai ke Desa Kaleb di Pantar Timur. Menurut Djobo, dia telah menginstruksikan berbagai pihak untuk membuka akses jalan untuk bisa dilewati kendaraan, meski hanya sepeda motor, sehingga sudah tiga desa yang sebelumnya terputus akses jalannya, sudah tersambung, yakni ruas Tamakh-Nule-Kaleb.
“Dia tersambung itu bukan berarti jembatan yang putus itu kita turun bim sala bim kemudian jadi. Tidak seperti itu, tetapi antara satu kampung dengan kampung yang lain saling gotong royong untuk membuka akses agar bisa dilalui meski hanya dengan jalan kaki, atau kendaraan roda dua,”tandas Djobo.
Selain itu, lanjut Djobo, upaya pemerintah saat ini, untuk ruas Desa Welai Selatan-Tominuku-Malaipea sampai di Kecamatan Mataru itu akses transportasinya sudah terbuka.
Untuk mencari korban yang hilang, upaya pemerintah sampai dengan batas waktu tertentu sesuai masa emergency, tetapi belum ditemukan, maka dianggap selesai. Nanti sesuai kearifan lokal masyarakat setempat yang dimiliki untuk terus mencari secara swadaya, itu soal lain.
Sedangkan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, jelas bupati Djobo, bahwa Pemkab Alor sudah sangat jeli untuk memperoleh data dari lapangan. Baik itu melalui Tim 7 yang turun ke tiap-tiap lokasi bencana di Tingkat Desa, Dusun dan RT/RW, maupun tingkat Kecamatan, bersama tokoh-tokoh dan berbagai elemen masyarakat, sehingga data-data tersebut sudah disandingkan.

Kondisi Desa Tamakh, Kecamatan Pantar Tengah, banyak rumah warga yang rusak berat diterjang banjir dan angin kencang.

“Data tersebut kemudian diverifikasi bersama, sehingga telah terhimpun data lengkap hampir 92 % , mengenai tingkat kerusakan rumah-rumah penduduk, baik itu rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Demikian pula dengan kerusakan fasilitas umum seperti gedung sekolah, perkantoran, rumah ibadah, Puskesmas, Pustu, Polindes, dan sejenisnya, serta infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, tambatan perahu, dan sebagainya, termasuk sarana-prasarana pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan. Data-data ini akan diusulkan kepada Pemerintah Pusat. Saya sudah berkomitmen agar Alor harus kirim data duluan sehingga Tim Verifikasi dari pusat cepat turun memverifikasi data by name by address,”tegas Djobo.
Saat dana turun dari pusat untuk proses rekonstruksi dan rehabilitasi (RR), jelas Djobo, misalnya untuk perumahan penduduk, maka besarannya tentu berbeda sesuai tingkat kerusakan. Yang rusak berat dananya pasti lebih besar, rusak sedang dan rusak ringan tentu disesuaikan dengan taksasi dana dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), melalui Pemerintah Propinsi NTT.
Mereka yang rumahnya rusak total dan yang hanyut tersapu banjir bandang, maka akan diberikan biaya tunggu untuk membangun baru rumah kediamannya, yakni dana Rp 500.000/bulan untuk setiap Kepala Keluarga (KK).
“Kita harapkan, dari biaya tunggu Rp 500.000/bulan, maka tidak usah lagi kita buat tempat pengungsian dan dapur umum lagi, karena nanti konsentrasi pemerintah pada upaya rekonstruksi dan rehabilitasi terbagi. Jadi 500.000/bulan/KK itu sebagai biaya tunggu, yang namanya Pengungsi Mandiri pada rumah keluarga dan kerabat dulu. Setelah kita usul dana Rp 500.000/bulan/KK ini turun, maka mereka akan ambil, mau digunakan untuk biaya sewa kamar atau untuk sambung hidup, sambil menunggu kita bangun kembali rumah tempat tinggal mereka yang baru,”tandas Djobo.
“Makanya teman-teman wartawan ini jangan duduk di rumah ko tulis. Turun baru lihat. Kita ada di lapangan dengan celana pendek untuk lihat kondisi masyarakat dan mengambil kebijakan penanganan di masa emergency, hingga proses rekonstruksi dan rehabilitas paska bencana nanti. Saya turun itu karena peduli dan ikut merasakan duka yang dialami masyarakat yang tertimpa bencana,”ujar Djobo.
Ia meminta masyarakat Kabupaten Alor yang tidak terkena dampak langsung bencana alam saat ini, agar menghargai dan peduli atas penderitaan yang dialami masyarakat Alor yang tertimpa bencana. Kesulitan yang kita alami ini, demikian Djobo, lebih berat karena Kabupaten Alor ini wilayah kepulauan dengan topografi yang berbukit, bergunung dan lembah, menyeberangi perairan laut yang ganas.
“Wilayah kita ini beda dengan basodara, kaka adik kita yang ada di Flores Timur dan Lembata. Di Flotim itu hanya di Pulau Adonara dan di Kabupaten Lembata juga hanya satu pulau. Kalau satu pulau itu lebih gampang dijangkau. Kita ini kalau hanya terjadi di Pulau Pantar, maka kita keroyok bantu lebih mudah. Tetapi ini di Pulau Pantar dan Pulau Alor, pada lokasi yang sulit dijangkau karena akses jalan terputus. Maka saya harap, berbagai tokoh masyarakat itu jadi penyejuk. Pasalnya, demikian Djobo, kita tidak hanya berpikir tentang rekonstruksi dan rehabilitasi fisik yang rusak akibat bencana, tetapi juga tentang psikis atau trauma orang yang terkena dampak bencana dari mereka yang kehilangan anggota keluarga.
“Ada anak yang kehilangan orang tua dan menjadi yatim piatu, ada orang tua yang kehilangan anak-anak, bahkan ada yang hilang sekeluarga. Ini yang perlu kita pikirkan juga sehingga jangan membuat hal-hal yang semakin meresahkan masyarakat dengan informasi yang tidak benar,”tegas Djobo.

Rumah warga Desa Lipang-Alor Timur Laut yang tersapu banjir

Kondisi pangan daerah, sambung Djobo, pada umumnya baik, karena sekitar 70 % masyarakat di desa-desa sudah panen, sebelum terjadinya bencana alam yang disebut Badai Silikon Tropis Seroja itu. Lahan kebun milik masyarakat, kata Djobo, umumnya di perbukitan sehingga saat hujan dan badai angin kencang, terhempas ke tanah dan masih bisa dipungut. Kecuali di kebun di sekitar sungai, dan tersapu banjir tentu tanaman pangan yang belum dipanen, tidak terselamatkan karena tersapu banjir, tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak.
Bupati Djobo mengatakan, saat dia di Taramana, dimana jembatan terputus dengan ruas jalan beraspal itu dibuatkan jembatan darurat sehingga sudah dilaksanakan dan bisa menyambug akses transportasi. Konstruksi jembatan Taramana, kata Djobo, masih kuat dan bisa dilewati kendaraan, sehngga mobil bisa mengangkut alat berat, manusia dan barang bisa sampai di Desa Lipang.
“Karena itu pemerintah daerah meminta agar jangan mempolitisir kondisi bencana. Ini kondisi-kondisi kemanusiaan, bukan kondisi politik, bukan urusan-urusan politik. Siapa yang mau bantu masyarakat, turun bantu dengan tulus ikhlas, jangan dipolitisir,”pungkas Djobo. (ap/tim-linuskia)

 

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *