Sub-Sub Rescipient (SSR) Klinik Sta.Elisabeth Tombang sebagai pelaksana Program Malaria Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI), kerja sama dengan Global Fund untuk penanggulangan Aids, Tuberkulosis dan Malaria (GFATM-PPM), terus berupaya keras untuk mengeliminasi malaria di Kabupaten Alor.
UPAYA itu diperlihatkan SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang dengan mengundang berbagai elemen terkait untuk bertemu, saling sharing data dan informasi, serta berdiskusi untuk meningkatkan pencapaian kualitas pelaksanaan Program Malaria Perdhaki di daerah ini. Pantauan alorpos.com, pertemuan dalam rangka Sosialisasi dan Advokasi Pelaksanaan Program Malaria Perdhaki Tingkat Kabupaten Alor yang difasilitasi SSR Kinik Sta.Elisabeth Tombang ini berlangsung pada Rabu (21/12/2022) silam di Aula Hotel Pulo Alor, kawasan Padang Tekukur Kalabahi.
Panitia pelaksana melaporkan bahwa tujuan kegiatan tersebut untuk Mensosialisasikan Pelaksanaan Program Malaria Perdhaki dan membangun kerja sama antar berbagai stakeholder terkait dalam mengintegrasikan Program Malaria Perdhaki dalam berbagai kebijakan dan anggaran, demi mendukung percepatan eliminasi malaria. Stakeholders yang hadir, antara lain pejabat terkait dari Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Para Camat, Kepala Desa, Kepala Puskesmas, serta Koordinator Pendamping Desa bersama sejumlah Pendamping Desa.
Sedangkan para pembicara, diawali dengan sapaan dari Badan Pengawas SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, RD.Frederikus Simon A.Tamelab, kemudian pemateri pertama tentang Profil Program Malaria Perdhaki yang disampaikan oleh Kepala SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, Sr.Agustina Nahak,SSPS. Materi kedua tentang Capaian Program Malaria Perdhaki yang disampaikan Program Manager SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, Veronika K.P.Dawan. Selanjutnya pemateri dari Dinas Kesehatan Kabupaten Alor yang dibawakan Lensi Alopada tentang Tren Malaria Kabupaten Alor Tahun 2022, dan terakhir materi tentang Advokasi Kebijakan Anggaran Untuk Mendukung Percepatan Eliminasi Malaria oleh Korkab Pendamping Desa, Machris Mau.
Karena itu, pada kesempatan pertama, Badan Pengawas SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, RD.Frederikus Simon A.Tamelab dalam sambutannya menyampaikan terima kasih atas kehadiran para pihak terkait. Menurutnya seorang aktivis kesehatan dunia bernama Catherine, bahwa pembunuh terbesar di planet bumi ini adalah malaria. Karena itu Romo Simon mengingatkan bahwa saat ini semua pihak fokus memberantas virus corona (Covid-19), tetapi tidak boleh menutup mata dengan penyakit malaria yang sementara berkecamuk di berbagai daerah, termasuk di Alor.
“Karena itu kegiatan Perdhaki menghadirkan kita sekalian untuk bersama-sama berkoordinasi, bekerja sama membangun kemitraan untuk mengentaskan penyakit malaria ini. Kita mendengarkan materi yang disampaikan bapak/ibu yang dipercayakan sesuai kompetensi tentang pengetahuan terkait malaria dan penanganannya, agar kita bisa aplikasikan dalam tugas yang dipercayakan kepada kita sekalian,”ujar Romo Simon.
Bahkan Pastor Paroki Yesus Gembala Yang Baik Kalabahi ini mengutip kata-kata seorang dokter Amerika, DeForest Clinton Jarvis, yang terkenal karena tulisannya tentang masalah pengobatan tradisional, bahwa “Jauh lebih sulit membuat orang sehat, daripada membuat orang sakit”. Itu artinya, demikian Simon, kesehatan itu sangat penting.
Thomas mengatakan, dia yang memiliki kesehatan adalah dia yang memiliki harapan. Dan dia yang memiliki harapan, dia pasti memiliki kesehatan.
“Itulah sebabnya kita dihadirkan di sini untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan pemahaman dan edukasi serta menghadirkan suatu pelayanan kesehatan yang baik untuk masyarakat. Saya atas nama Perdhaki menyampaikan limpah terima kasih atas kehadiran kita semua dalam kegiatan ini untuk kebaikan di Kabupaten Alor,”tandas Romo Simon sembari membuka kegiatan dimaksud.
Selanjutnya, Kepala SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, Sr.Agustina Nahak,SSPS menyampaikan materi tentang Profil Program Malaria Perdhaki. Menurut Sr.Agustina, pelaksanaan Program Kesehatan dan Pemberdayaan, baik itu organisasi berbasis keagamaan, organisasi sosial dan sebagainya. Organisasi tersebut, jelas Suster, direkrut sebagai Sub Rescipient atau SR, Sub-Sub Rescipient (SSR) atau sebagai Implementing Unit, jika memiliki rumah sakit atau klinik, ataupun organisasi berbasis komunitas berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Bentuk kerja sama lintas sektoral melalui KIA (kesehatan ibu dan anak) , sosial ekonomi, pertanian dan lain-lain.
Mengenai Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI), sebagai opresiasi dari kehadiran kesehatan Katolik di Indonesia, didirikan pada 27 Juli 1972. Anggota Perdhaki, jelas dia, terdiri dari fasilitas-fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit dan Klinik Pratama, Klinik Gereja Katolik dan Kristen.
“Sampai saat ini ada 440 Anggota. Perdhaki terlibat dalam program kesehatan di Indonesia, dimana malaria sebagai salah satu program yang dijalankan oleh Perdhaki. Donatur dari Perdhaki yakni Global Fund,”ungkap Sr.Agustina.
Lebih lanjutkan dijelaskannya, bahwa Global Fund adalah mitra multi lateral antar pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat yang bersifat mandiri. Kemitraan ini, sambung Sr.Agustina, pertama kali digagas oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan pada Tahun 2001, kemudian didirikan pada Tahun 2002. Menurutnya, tujuan Global Fund yaitu mengumpulkan dana dari pemerintah, perusahaan dan perseorangan di seluruh dunia, untuk dialokasikan bagi program pengendalian infeksi seperti HIV dan AIDS, Tuberculosis (TBC) dan Malaria.
“Salah satu penerima Hiba Global Fund dalam pengendalian HIV-AIDS, TB, Malaria serta Penguatan Sistim Kesehatan adalah kita Indonesia,”tandas Sr.Agustina.
Sedangkan Visi Perdhaki, jelas Sr.Agustina, yakni terwujudnya akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang berkualitas dan berbelarasa, melalui jejaring pelayanan kesehatan yang efektif. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama berlandaskan komunio antar anggota dan wilayah. Meningkatkan kapasitas anggota dalam upaya mencapai layanan yang berkualitas dan terjangkau. Mendorong terwujudnya pelayanan kesehatan dengan semangat cinta kasih dan berbelarasa sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Berperan aktif dalam upaya pembangunan kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatan darurat. Mengobarkan jalinan kerja sama dengan pihak lain yang terkait.
Sementara itu, lanjut Sr.Agustina, tujuan program dari Perdhaki yakni; Menurunkan angka kematian dan kesakitan malaria, dengan mengurangi tingkat penularan yang serendah mungkin, dengan pendekatan epidemologi yang tepat. Adapun tujuan jangka panjangnya, adalah terhapusnya penyakit malaria dari daerah Kawasan Timur Indonesia, yang merupaka target pemerintah Indonesia saat ini agar tereliminasi pada Tahun 2030. Tujuan jangka pendek, yakni angka kematian dan kesakitan akibat penyakit malaria menurun, dibandingkan sekarang.
Dijelaskannya pula, bahwa SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang meliputi UUKBM Nailang-Kecamatan Alor Timur Laut, UKBM Welai Selatan-Kecamatan Alor Tengah Utara, UKBM Moremam-Kecamatan Alor Barat Daya, UKBM Probur Utara-Kecamatan Alor Barat Daya, dan UKBM Mausamang-Kecamatan Alor Timur. Di setiap UKBM, Perdhaki menempatkan satu Tenaga Kesehatan dan dua Kader Malaria. Sasaran program, parar Sr.Agustina, pada daerah endemis malaria di Kawasan Timur Indonesia, pekerja migran, ibu hamil, anak-anak dibawah usia 5 tahun atau Balita.
Kesempatan yang sama, Program Manager SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, Veronika K.P.Dawan, menyampaikan capaian pelaksanaan program selama satu tahun (Tahun 2022) ini. Menurut Enny, demikian sapaan akrab aktivis murah senyum ini, bahwa wilayah kerja mereka meliputi wilayah Kecamatan Alor Timur, Alor Selatan, Alor Tengah Utara, Alor Barat Daya dan Kecamatan Alor Timur. Pada sejumlah kecamatan itu, jelas Enny, terdapat 5 UKBM yakni UKBM Nailang, Welai Selatan, Moremam, Probur Utara dan UKBM Mausamang.
“Untuk UKBM Nailang, lokus kerja kami sudah mencakup (desa) Kamot, Nailang, Air Mancur, Taramana, Kenarimbala dan Lipang. Saat ini kami berada di Lipang, Dusun I dan Dusun II. Kalau untuk UKBM Welai Selatan, mencakup desa Fuisamang, Malaipea, Welain Selatan, dan Tominuku. UKBM Moremam itu ada Pintu Mas, Moreman, Morba, Pailelang dan Fanating. Untuk UKBM Probur Utara, meliputi Margeta, Wolang, Probur dan Halerman. UKBM Mausamang mencakup Mausamang, Kolana Utara, Kolasa Selatan dan Desa Elok,”papar Enny.
Soal penemuan kasus malaria, jelas Enny, untuk periode Januari hingga Oktober 2022, dari total 2.367 pemeriksaan, ditemukan sebanyak 11 kasus positif malaria. Dia menegaskan bahwa Kader Malaria SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, mengunjungi rumah ke rumah untuk mencari orang yang sakit demam atau gejala malaria, untuk diperiksa menggnakan RDT (Rapid Diagnostic Test).
“Setelah diperiksa dengan RDT dan positif maka diberikan obat, sedangkan yang negatif, tidak diberikan obat. Untuk UKBM Nailang dari 455 pemeriksaan terdapat 1 kasus positip. UKBM Welai Selatan, dari 382 pemeriksaan, ada 1 kasus positif. Di UKBM Moremam, dari 743 pemeriksaan, ada 5 kasus positif. Di UKBM Probur Utara dari 377 pemeriksaan ada 4 kasus positif. Untuk UKBM Mausamang, dari Janurai – Oktober 2022 itu nol kasus positif dari 410 pemeriksaan,”urai Enny Dawan.
Mengenai rencana inovasi SSR, lanjut Enny, ada Gerakan Desa Bebas Malaria yang sudah kami lakukan di beberapa desa. Yakni ada tim Malades, Tim Mamamala (mama malaria), Tim Garda Desa dan Tim Kader. Di Tahun 2022 ini, sambung Enny, Gerakan Desa Bebas Malaria itu suatu gerakan yang memberdayakan seluruh kelompok dan lapisan masyarakat, guna membangun kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan pemerataan dalam percepatan pemberantasan malaria.
Menurutnya, Tim Malades terdiri dari Kepala BPD, Aparatur Pemerintah Desa seperti Kepala Dusun, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat. Untuk kelompok Mamamala, terdiri dari kelompok ibu-ibu rumah tangga, kelompok doa atau pengajian yang dibimbing dan dilantik untuk terlibat secara aktif dalam gerakan pemberantasan malaria, dengan memberikan informasi tentang malaria kepada masyarakat.
“Metode yang kami tawarkan untuk pencegahan malaria yang akan dilaksanakan mama itu adalah Diskusi Kampung. Ini merupakan sebuah model pembelajaran tentang malaria yang didesain secara sederhana untuk digunakan oleh seluruh masyarakat. Penggunaan metode Diskusi Kampung ini disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya masyarakat setempat,”jelas Enny.
Metode ini menurut Enny, menggunakan sarana atau alat bantu pembelajaran yang sederhana, untuk mendorong sebuah proses edukasi kesehatan yang partisipatif, dimana masyarakat menjadi subyek proses pembelajaran. Enny mengaku pihaknya memberikan materi tentang malaria, kemudian mengajak masyarakat terlibat secara aktif, menggunakan media berupa gambar-gambar dan sebagainya. Anak-anak, kata Enny, juga dilibatkan sebagai kader cilik untuk semakin pekah dengan kesehatan, khususnya malaria dan menjadi agen perubahan.
“Selain diskusi kampung, ada pengawasan penggunaan kelambu, penemuan tempat jentik, penemuan masyarakat dengan gejala malaria, pengawasan minum obat dan mendampingi kader cilik bersama UKBM,”tandas Enny
Menurutnya, pengawasan kelambu dan sebagainya adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencegah penularan malaria, bertambahnya penyakit malaria d lingkungan yang menjadi lokus. Sedangkan rencana inovasi di Tahun 2023, lanjut Enny, yakni Deklarasi Desa Bebas Malaria.
“Yang kami rencanakan itu, Deklarasi Desa Bebas Malaria itu akan dilakukan di UKBM Mausamang, karena menurut data, sudah dua tahun terakhir ini di UKBM Mausamang, kami tidak menemukan kasus malaria. Jadi rencana kami, di bulan Februari 2023 nanti, kami akan melakukan Deklarasi Desa Bebas Malaria di Mausamang sebagai desa contoh,”tegas Veni.
Ia menjelaskan bahwa desa bebas malaria itu merupakan sebuah gerakan bersama yang melibatkan berbagai pihak dan lapisan masyarakat, seperti pemerintah desa/kampung, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, ibu rumah tangga, kaum muda dan anak-anak, dalam berbagai kegiatan pemberantasan malaria. Jadi, lanjut Enny, deklarasi desa bebas malaria ini sebuah wacana yang dibangun , sebagai sebuah kesepakatan bersama untuk memberatas malaria, sehingga kalau sudah zero (nol) maka zero terus, jangan muncul kasus malaria lagi.
Tujuannya, demikian Enny, untuk mendapat kepedulian pimpinan daerah sampai ke tingkat masyarakat terhadap wilayah yang benar-benar bebas dari penyakit malaria. Ia berpendapat, bahwa ini mulai dari faktor kesiapan, adanya kesepahaman, pola pikir, sampai ke arah pelaksanaan. Selain itu, kata Enny, untuk memantapkan kesepahaman yang sudah dibuat agar pimpinan wilayah dan forum masyarakat atau aparat setempat, untuk bersedia dan bertanggungjawab sebagai penggerak masyarakat desanya, demi menjadi sebuah desa atau kampung bebas malaria.
“Manfaat dari kegiatan ini adalah masyarakat di wilayah program. Hasil yang kita harapkan dari deklarasi ini adalah tidak ada lagi kasus malaria di wilayah yang menjadi target sasaran kegiatan program. Berikut, adanya sistim mitigasi yang sudah dibentuk, menyiapkan masyarakat agar dapat mengelola sistim secara baik, bertanggungjawab serta berkesinambungan. Terjalinnya koordinasi dengan baik antara semua pihak, adanya laporan kinerja secara sistematis dan komprehensif, serta adanya fungsi monotoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program yang sudah berjalan dan yang direncanakan,”tandas Enny.
Dia berharap agar dengan kegiatan ini, Pemerintah Kabupaten Alor bisa bekerja sama dengan SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang dalam melaksanakan inovasi penanggulangan malaria, dengan mengalokasikan kebijakan dan dukungan anggaran untuk percepatan eliminasi malaria di Kabupaten Alor. Dengan dukungan Pemkab Alor dan berbagai stakeholder terkait, Enny optimis, jika kelak Perdhaki sudah tidak ada lagi di Alor, masih ada kader-kader yang tetap eksis untuk memberantas dan mencegah malaria di daerah ini.
TREND MALARIA DI ALOR TAHUN 2022 DAN ROAD MAP TAHUN 2023
Lensi Alopada dari Dinas Kesehatan Kabupaten Alor membawakan materi tentang Trend Malaria di Kabupaten Alor tahun 2022. Menurut Lensi, trend kasus postip malaria untuk angka kabupaten per November 2022 sebanyak 359 kasus. Dia merincikan, dari 359 kasus positif malaria itu, sebarannya di beberpa Puskesmas yakni di Puskesmas Buraga, Apui, Kokar, Alor Kecil, Kayang, Probur, Kabir, Kenarilang, Maritaing, Lembur, Mebung, Bukapiting dan Puskesmas Moru.
“Yang paling tinggi di Puskesmas Moru sebanyak 226 kasus. Puskesmas Moru ini masuk wilayah kerjanya Perdhaki juga. Sebaran kasus malaria di Puskesmas Moru ini meliputi desa Moremam 9 kasus, Desa Morba 27 kasus, Kelurahan Moru 32 kasus, Desa Pailelang 46 kasus, dan Desa Fanating 112 kasus positif malaria,”jelas Lensi.
Sedangkan sebaran kasus positif malaria di Puskesmas Bukapiting, Kecamatan Alor Timur Laut, di Desa Lipang 1 kasus, Taramana 1 kasus, Air Mancur 10 kasus, Kamot 12 kasus, Nailang 12 kasus, Waisika 16 kasus, sehingga total 52 kasus positif malaria di Puskesmas Bukapiitng. Untuk sebaran kasus positif malaria di Puskesmas Mebung yakni; Desa Likuatang 1 kasus, Petleng 1 kasus, Welai Timur 1 kasus, dari luar wilayah Puskesmas Mebung 4 kasus, Desa Alimebung 5 kasus, Kelurahan Kabola 8 kasus dan Desa Nurbenlelang 11 kasus, total 31 kasus. Di wilayah kerja Puskesmas Maritaing, sebaran kasus positif malaria di Desa Kolana Utara 2 kasus dan Desa Maritaing 2 kasus.
Sementara itu, angka kesakitan malaria untuk tingkat Kabupaten Alor, jelas Lensi, di angka 1,65 sehingga termasuk sedang. Angka screening malaria, kata Lensi, didukung kinerja Perdhaki yang melakukan kunjungan dari rumah ke rumah.
“Jadi selain teman-teman Puskesmas yang melakukan pemeriksaan secara masal di desa, teman-teman Perdhaki melakukan juga kunjungan dari rumah ke rumah di wilayah kerja Perdhaki, sehingga menambah angka pemeriksaan, karena targetnya itu harus 10 %/tahun dari total jumlah penduduk kabupaten. Jadi masukan juga untuk teman-teman Perdhaki, kalau Mausamang mau deklarasi eliminasi malaria, nanti dilihat juga dengan angka ABEL 9orang yang sudah diperiksa) kalau mencapai 10 % dari total jumlah penduduk setempat, maka ok, sudah sesuai,”saran Lensi.
Terkait Road Map (peta jalan) Eliminasi Malaria di Kabupaten Alor, sebagai upaya untuk menghentikan penularan malaria dalam satu wlayah geografis tertentu. Meski begitu, lanjut Lensi, kita tetap meningkatkan kewaspadaan dan mencegah penularan kembali kasus malaria. Lensi mengemukakan bahwa syarat eliminasi ada tiga, yakni tidak ada penularan setempat selama tiga tahun berturut-turut, positif rate-nya kurang dari 5 % dan angka kesakitannya kurang dari 1 per 1000 penduduk.
“Adapun keuntungan dari daerah bebas malaria yakni; Pertama, meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kedua, meningkatkan indeks kompetensi daerah dalam mendapatkan investasi. Ketiga, meningkatkan produktifitas ekonomi masyarakat. Keempat, memberi rasa keamanan dan kenyamanan bagi pengunjung dan wisatawan. Kelima, mengurangi beban ekonomi akibat kesakitan dan hilangnya produktifitas,”tandas Lensi.
Menurutnya, target Eliminasi Malaria di Indonesia, pada Tahun 2029 semua kabupaten/kota dan propinsi mencapai Eliminasi Malaria. Lensi berpendapat, bahwa target pusat itu pada Tahun 2029, maka di Kabupaten Alor menargetkan lebih awal yakni pada Tahun 2025 sudah Eliminasi Malaria. Dengan catatan, lanjut putri mantan Ketua DPRD Alor, Marthinus Alopada ini, pada Desember sudah harus nol kasus malaria.
“Karena selama 36 bulan (tiga tahun) ke depan itu, tidak boleh ada kasus malaria. Untuk mencapai eliminasi malaria itu, selama 36 bulan berturut-turut harus nol kasus malaria di semua wilayah Kabupaten Alor. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar untuk kita semua. Maka kegiatan ini menjadi moment yang bagus untuk kita diskusi bersama yang difasilitasi teman-teman Perdhaki,”ujar Lensi.
Lebih jauh Lensi menginformasikan bahwa secara nasional, target Indonesia mencapai eliminasi malaria pada Tahun 2030 dan akan mendapat sertifikat Eliminasi Malaria dari WHO (World Health Organization). Sedangkan eliminasi malaria di tingkat kabupaten/kota akan mendapat sertifikat dari Kementrian Kesehatan.
Total kasus malaria di Kabupaten Alor hingga November 2022, ungkap Lensi, sebanyak 359 kasus, semuanya kasus lokal karena tidak ada impor atau kasus malaria yang datang dari luar wilayah Kabupaten Alor. Jumlah Puskesmas yang punya kasus malaria sebanyak 15 Puskesmas. Desa bebas malaria atau nol kasus itu sebayak 141 desa, sehingga ada 34 desa yang punya kasus malaria.
Menurut Lensi, pada Januari 2023 harus sudah memulai dengan nol kasus malaria di Kabupaten Alor. Karena target asesment pada bulan November 2024.
“Jadi target indigenus di Tahun 2022, target pre assesment di 2024, assesment pusat pada 2025 dan target eliminasi malaria pada 2025. Sudah ada juga Peraturan Bupati Alor Tentang Eliminasi Malaria Nomor 53 Tahun 2022, yang sudah kami sosialisasikan di beberapa kecamatan, untuk tahun ini (2022) di lima kecamatan. Tahun depan, (sosialiasasi Perbup Alor Nomor 53 Tahun 2022) dilanjutkan oleh teman-teman Puskesmas di kecamatan lainnya,”ujar Lensi.
Lebih lanjut Lensi menjelaskan bahwa strategi eliminasi malaria, peningkatan sistim sirvelens malaria, peningkatan upaya promosi kesehatan dan eliminasi malaria, penatalaksanaan malaria sesuai standar dan rujukan yang berjenjang menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan. Sedangkan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian malaria yang berkualitas dan integrasi, serta pengendalian faktor risiko lingkungan terhadap eliminasi malaria, pihaknya meminta dukungan dari lintas sektor. Terakhir, ujar Lensi, yakni mendukung dan mengupayakan kegiatan inovatif dalam mengeliminasi malaria. Soal pemeriksaan darah malaria secara masal itu, minimal 80 persen dari total jumlah penduduk di suatu desa. Kalau ada yang positif maka akan diberi obat, serta diambil sampel darah lanjutan untuk pemeriksaan dengan mikroskop.
ELIMINASI MALARIA PAKAI DANA DESA
Sementara itu, Machris Mau,SP selaku Koordinator Kabupaten (Korkab) Dana Desa di Kabupaten Alor menyampaikan materi terkait Advokasi Kebijakan Anggaran Untuk Mempercepat Eliminasi Malaria. Machris mengaku sudah punya kesepakatan dengan pihak Perdhaki, yang pada prinsipnya bahwa Pemerintah Desa mendukung kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, salah satunya adalah eliminasi malaria.
Machris berpendapat bahwa untuk mengeliminasi malaria ini merupakan tanggungjawab bersama. Menurut Machris, memasuki Tahun 2023 merupakan tahun ke-9 adanya Dana Desa untuk 158 desa di Kabupaten Alor, dan akan bertambah lagi 15 desa baru yang saat ini telah berstatus Desa Persiapan dan akan menjadi desa definitif.
Dijelaskan Machris, bahwa akibat Pandemi Covid-19 memang terjadi penurunan anggaran, termasuk Dana Desa yang cukup siginifikan, sehingga untuk Kabupaten Alor pada Tahun 2022 sebesar Rp 166 Miliar, Tahun 2021 turun menjadi Rp 151 Miliar dan nanti di Tahun 2023 turun lagi menjadi Rp 130 Miliar.
“Karena itu, pada Tahun 2023, kegiatan-kegiatan prioritas yang kita akan jalankan. Untuk Tahun 2023, desa-desa sudah berproses untuk penyusunan rencana, dan saat itu kita juga diskusi dengan teman-teman Perdhaki, sehingga ada beberapa desa yang kita advokasi untuk masuk mengambil bagian dalam rangka eliminasi malaria ini,”kata Machris.
Lebih lanjut Machris menekankan bahwa penggunanaan dana desa di 2023 itu pertama untuk pemulihan ekonomi, karena masih dalam situasi paska Covid-19, yang memporakporandakan sendiri-sendi ekonomi. Kedua, program prioritas dana desa, salah satunya bagaimana penanggulangan penyakit menular, menurutnya ada sekitar 10 kegiatan. Selain itu, demikian Machris, fokus dana desa juga untuk penanggulangan stunting. Hal ini pihaknya bekerja sama dengan Dinas Kesehatan unutk mengkreasikan kegiatan yang juga inovatif.
“Dalam berbagai kesempatan, kita sudah berdiskusi bersama dengan teman-teman kesehatan dan lintas sektor, apa kontribusi desa. Saya kira kontribusi desa sudah cukup besar terhadap pengurangan stunting, dan ini merupakan menu tetap selama ini. Hanya kreasi penajaman kegiatan ini yang mesti kita rubah polanya, terutama penanganan anak gizi buruk dan gizi kurang,”tandas Machris, sembari menambahkan, bahwa salah satu kendala yang mereka hadapi, yakni data by name by adress anak-anak stunting, sehingga dibutuhkan data dari Dinas Kesehatan.
Prioritas ketiga dari pemanfaatan dana desa di Tahun 2023, jelas Machris, yakni mitigasi dan penanganan bencana alam dan non alam.Untuk kegiatan pemulihan ekonomi, lanjut Machris, akan fokus pada pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) bersama. Ia mengakui ini sebagai tantangan dalam membentuk kelembagaan ekonomi lokal di kampung/desa. Berikutnya yakni pengembangan Desa Wisata dan Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif yang dikelola oleh Badan Usaha. Ini, demikian Machris, menyangkut dengan ketahanan pangan.
Sedangkan untuk penangulangan kemiskinan ekstrim, Machris memastikan bahwa tahun depan (2023) masih ada BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang minimal 10 % dan maksimal 25 %, tetapi menyasar pada KK yang miskin ekstrim atau miskin sekali. Kriteria miskin ekstrim itu sangat kompleks, mulai dari sarana kesehatan, sarana perumahan, sanitasi, dan air bersih yang buruk. Machris berharap agar data-data itu dishare oleh Bappelitbang Kabupaten Alor kepada Dinas PMD, sehingga desa ketika merencanakan, apakah mengintervensi BLT atau penanggulangan kegiatan perumahan dan air bersih, sehingga KK itu keluar dari kemiskinan ekstrim, naik menjadi keluarga pra sejahtera satu.
“Hal ini butuh data, karena kami di Dinas PMD tidak punya data rumah tangga miskin ekstrim. Kalau data rumah tangga miskin itu ada, tetapi data rumah tangga miskin ekstrim itu yang tidak ada,”ujar Machris.
Mengenai perluasan akses layanan kesehatan sesuai kewenangan desa, Machris menegaskan bahwa pihaknya meletakan eliminasi malaria pada pos ini. Alasan Machsris, bahwa malaria bisa berhubungan dengan stunting, sebaliknya stunting juga bisa berhubungan dengan malaria, sehingga penanganannya kolaboratif dan integratif.
“Jadi untuk kami di desa, penanganan eliminasi malaria kita letakan di dalam program prioritas nasional,”tandas Machris.
Sementara terkait kegiatan mitigasi bencana, Machris memastikan bahwa tahun 2023, pihaknya bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Alor untuk melakukan simulasi-simulasi bencana di beberapa desa yang dianggap rawan bencana.
Sedangkan untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), lanjut Machris, ada sejumlah kegiatan literasi yang menjadi trend, sehingga desa juga mulai dengan pembangunan perpustakaan dan penyediaan buku-buku bacaan. Tetapi menurutnya belum semua desa memprogramkan ini, karena tergantung visi kepala desa dalam rangka menciptakan SDM di desanya. Masih banyak desa yang fokus untuk pengembangan sarana-sarana bagi pendidikan anak usia dini (PAUD) dalam rangka penyiapan SDM kedepan.
Kembali ke soal eliminasi malaria, Machris menjamin bahwa desa akan memasukannya dalam program kegiatan penanggulangan penyakit menular dan penyakit lainnya. Karena itu, aktifis NGO yang terkenal krits ini berharap agar pihak PERDHAKI maupun Dinas Kesehatan bisa menyodorkan data terkait desa-desa yang punya kasus malaria cukup banyak sehingga bisa direncanakan kegiatannya. Desa dengan angka tertetinggi kasus malaria saat ini di Kabupaten Alor yakni di Desa Moremam dan Desa Pailelang, Kecamatan Alor Barat Daya.
Setelah pemaparan materi oleh para narasumber, dilanjutkan dengan diskusi yang melibatkan stakeholder terkait, yang memberikan usul dan saran tentang apa yang mesti dilakukan ke depannya dalam rangka eliminasi malaria di Kabupaten Alor.
“Setelah melalui diskusi, usul dan saran, akhirnya peserta pertemuan membuat kesepakatan sebagai berikut; 1) Desa bertanggungjawab pada upaya pencegahan dan penanganan malaria, meliputi kegiatan pengukuhan dan pelatihan tim gerakan desa bebas malaria, diskusi kampung, pemantauan pemakaian kelambu, pengawasan minum obat, dan penemuan jentik nyamuk. 2) Puskesmas bertanggungjawab dalam kegiatan penemuan penderita, penatalaksanaan kasus dan penyelidikan epidemologi. Puskesmas juga bertanggungjawab untuk mensosialisasikan Perbup Nomor 53 Tahun 2022 kepada masyarakat di setiap wilayah pelayanan Puskesmas. 3) Dinas Kesehatan bertanggungjawab dalam surveilans, pengumpulan data, pengolahan data, interpretasi data, desiminasi data, sosialisasi dan advokasi mengenai pencegahan dan penanggulangan malaria. Dinas Kesehatan juga bertanggungjawab untuk mensosialisasikan Perbup Nomor 53 Tahun 2022 kepada setiap Puskesmas. 4) Camat, Kepala Desa dan Pendamping Desa, bertanggungjawab dalam pengawasan pelaksanaan kegiatan eliminasi malaria, yang dilakukan stakeholder terkait di wilayah kerja masing-masing,”demikian empat butir kesempakatan yang dibacakan Program Manager SSR Klinik Sta.Elisabeth Tombang, Veronika K.P.Dawan. (ap/linuskia)