VIVAT berasal dari kata Latin, “Vivere” yang berarti hidup. Dikutip dari wikipedia, nama Vivat mengungkapkan sebuah komitmen bagi semua yang hidup dan yang ada. Vivat Internasional adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional, berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki status konsultatif dengan Dewan Social Ekonomi (ECOSOC) dan berasosiasi dengan Departemen Informasi Publik PBB. VIVAT Internasional didirikan pada November 2000 di Roma oleh Pemimpin Umum Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Devini (SVD), dan Konggregasi Suster Abdi Roh Kudus (SSPs). Lembaga ini bekerja di 130 negara, berkator pusat di New York-Amerika Serikat, dan Kantor Perwakilan di Genewa, serta cabang-cabang nasional, termasuk di Indonesia, yang saat ini Eksecutive Direkturnya adalah salah satu pastor, putra Kabupaten Alor dari kampung Tombang, Pater Agus Alfons Duka,SVD.
Dan pada Senin (21/2/2022) Pater Agus dalam kapasitas sebagai Eksekutive Director Vivat Indonesia, dan juga Direktur Zero Human Trafficking Network, tampil membedah persoalan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau Human Trafficking, di Aula SMAK St.Yoseph Kalabahi. Pantauan alorpos.com, kegiatan ini terlaksana berkat kerja sama Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Cabang Paroki Gembala Yang Baik Kalabahi yang diketua Kuntari Basworo, dengan VIVAT Indonesia dan Zero Human Trafficking Network.
Kegiatan dihadiri semua Kelompok Umat Basis dan Stasi Takalelang yang masuk wilayah Paroki Yesus Gembala Yang Baik Kalabahi ini, dibuka Pastor Kepala SMAK St.Yoseph Kalabahi, Romo Andi Luan, mewakili Pator Paroki, Romo Simon yang pekan lalu menggantikan Romo Marselinus Seludin,Pr.
Dalam pemaparannya, Pater Agus Duka membeberkan data bahwa sekitar 1,9 juta warga Indonesia, terbanyak dari Propinsi Nusa Tenggara Timur, saat ini bekerja di luar negeri sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang tidak mengantongi dokumen resmi. Hal ini yang membuat para pekerja di luar negeri itu sering tidak mendapat hak-haknya secara manusiawi, bahkan ada yang menjadi korban eksploitasi.
Pater Agus menjelaskan, ekspploitasi TKI/TKW itu antara lain dalam bentuk prostitusi, bentuk lain dari eksploitasi seksual seperti kerja paksa, perbudakan, pemaksaan militer, penghambaan, dan penjualan/pengambilan organ tubuh. Menurutnya, modus migrasi TKI/PMI antara lain janji gaji besar, pendekatan melalui orang tua, pengantin pesanan, anak angkat, beasiswa luar negri dan pertemanan di medsos.
Pater Agus mengetengahkan, bahwa orang tergiur untuk migrasi menjadi TKI/PMI karena ketiadaan lahan pekerjaan, sulit mendapat pekerjaa, kebutuhan meningkat seperti pendidikan, atau pembangunan rumah. Para pencari kerja ini kemudian direkrut, kadang melalui calo, dengan iming-iming, kadang melibatkan pelaksana penempatan oleh PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), PPTKIS (Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia Swasta), PPPMI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migrasi Indonesia), karena ini menyangkut bisnis, duit, transaksi dan keuntungan.
“PMI yang bekerja di luar negeri melalui penempatan yang tidak benar, karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang prosedur. Terbatasnya akses informasi kerja di luar negeri dan dalam negeri, sebagai akibat kelalaian pemerintah dan gereja dalam mensosialisasi Undang Undang Nomor 18 Tahun 2007. Hal ini memicu maraknya praktek percaloan dan praktik migrasi tradisional,”tegas Pater Agus dalam kegiatan yang dipandu Lince Lalo itu.
Akibat non prosedural dalam penempatan TKI/PMI, jelas Pater Agus, maka tidak aman karena tidak mendapat jaminan perlindungan di tempat kerja oleh negara dan pemberi kerja. Kerap diperlakukan tidak manusiawi mulai dari tempat penampungan, hingga ke tempat tujuan kerja. Menerima gaji tidak sesuai dengan standar upah resmi, dibatasi hak-hak oleh pemberi kerja atau majikan. Selain itu, selalu was-was karena takut ditangkap aparat keamanan, tidak ada asuransi sakit, kecelakaan dan kematian,”ujar Pater Agus.
Menjawab media ini, Pater Agus mengatakan, pada November 2021 di Kupang, pihaknya juga membuat kegiatan serupa dengan melibatkan para jurnalis.
“Kami punya 43 jaringan mitra kerja, antara lain dengan Care, Padma Indonesia, IOM (International Organisation for Migrant Indonesia), Kabar Bumi (Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia) dan sejumlah lembaga lainnya, termasuk dari GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor), Rumah Aman GMIT, Jaringan Perempuan Indonesia Timur. Jadi jaringan ini melibatkan aktivis Katolik, Protestan dan Islam secara baik untuk memerangi Human Trafficking atau TPPO,”tandas Pater Agus.
Pihaknya juga memberintuk Jaringan Para Jurnalis di Kupang, serta jaringan anak-anak muda yang maioritas Muslim, menggunakan media sosial, yang masing-masing punya followers (pengikut) 5000-an orang untuk ikut mengkampanyekan perang terhadap perdagangan orang atau human traffickng.
Jadi kami perjuangan itu, Zero Human Trafficking atau tidak ada lagi kasus perdangan orang atau nol kasus perdagangan orang.
“Ini butuh upaya bersama, termasuk jurnalis sebagai ujung tombak, sehingga kita kembangkan Jurnalisme Investigasi, supaya wartawan bisa membongkar jaringan human trafficking ini,”tandas pastor yang lama menjabat di KWI Jakarta, dan study lanjut ke Korea Selatan ini.
Sementara itu, Romo Andi: Banyak hal yang sudah disajikan pater Agus Alfons Duka,SVD, dan direspon melalui berbagai pertanyaan dari para peserta, menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Karena follow up kegiatan ini, sebagaimana disampaikan Ketua WKRI, Kuntari Basworo, kata Romo Andi, perlu dijadikan sebagai RTL (Rencana Tindak Lanjut), untuk menjembatani semua fakta-fakta yang sudah diungkapkan dalam kegiatan tersebut.
“Kiranya apa yang kita gumuli ini, menjadi pekerjaan kita bersama, bukan orang per orang. Mudah-mudahan kehadiran kita semua yang difasilitasi oleh WKRI, menjadi jembatan emas dalam bekerja bersama. Libatkan APH (Aparat Penegak Hukum), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Pemerintah, masyarakat dan pegiat-pegiat yang punya minat, untuk meminimalisir humman trafficking (perdagangan orang) di Kabupaten Alor ini,”tandas Romo Andi.
Yang menarik, lanjut Romo Andi, ternyata yang menjadi calo perdagangan orang, ternyata dari orang-orang dekat kita, yang ada di sekitar kita, dan situasinya seperti yang dijelaskan Pater Agus Alfons Duka,SVD.
“Kita sekarang berada di dalam sistim itu dengan berbagai macam tawaran dan tantangan, tetapi paling kurang dari hal-hal yang sudah disampaikan tadi, sehingga keluarga kita dan orang-orang di sekitar kita tidak terjebak dalam persoalan human trafficking. Mewakili Pastor Parokis Yesus Gembala Yang Baik Kalabahi, saya mengucapkan terima kasih kepada pater Agus (Agus Alfons Duka,SVD) yang telah menyampaian berbagai hal dalam kegiatan sosialisasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau Human Trafficking ini, dan juga kepada WKRI Cabang Paroki Yesus Gembala Yang Baik Kalabahi yang memfasilitasi kegiatan ini. Mudah-mudahan kegiatan ini terus berjalan dalam salah satu seksi atau devisi kedepannya,”ujar Romo Andi, seraya menutup kegiatan dimaksud.
Sedangkan Ketua WKRI Cabang Paroki Yesus Gembala Yang Baik Kalabahi, Kuntari Basworo mengatakan, bahwa tujuan kegiatan Sosialisasi TPPO ini untuk membuka wawasan serta guna peningkatan kualitas dan kepedulian WKRI terhadap kaum perempuan dan anak yg menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Diharapkannya, melalui wadah WKRI, informasi tentang TPPO dapat tersampaikan kepada semua kalangan. Selanjutnya, kata Kuntari, setelah kegiatan tersebut, sebagai Rencana Tindak Lanjut, WKRI akan mengajak semua stakeholder terkait untuk membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
“Kami akan melibatkan semua pihak terkait, termasuk wartawan dan media massa, sehingga gugus tugas yang terbentuk bisa mendapatkan informasi tentang korban TPPO dan dapat melakukan langkah-langkah pencegahan TPPO,”tandas Kuntari yang belum lama ini terpilih lagi menjadi Ketua WKRI PYGB Kalabahi, periode kedua ini.
Sekadar diketahui, dalam sesi diskusi, banyak peserta yang menyampaikan saran, dan pertanyaan seputar masalah ini. Salah satu peserta kegiatan, Agus Asamal mengusulkan agar kegiatan serupa kedepannya agar WKRI bisa bekerja sama dengan Dinas Pemverdayaan Perempuan dan Anak. Sementara itu, Muder Biara SSPs Tombang, Sr.Agnes Tere,SSPs menekankan peran keluarga sangat penting untuk menekan persoalan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini. Sedangkan Tince Deran mempertanyakan solusi dalam mengatasi masalah ini karena menurutnya calo TKI sudah punya jaringan terstruktur sehingga butuh tindakan nyata dalam memberantasnya. (ap/linuskia)