Camat Pantar Tengah Belajar ke Stube HEMAT Yogyakarta Tentang Pengolahan Mente Jadi Wine dan Rekayasa Lahan Tambak Garam

author
13 minutes, 0 seconds Read

SEBAGAI salah satu camat di Kabupaten Alor, Propinsi Nusa Tenggara Timur yang dinilai berhasil dalam memotivasi masyarakatnya untuk mengembangkan potensi sumber daya alam, maka Camat Pantar Tengah, Manoak Bolingsau,S.I.Kom didukung Bupati Alor, Drs.Amon Djobo,M.AP., untuk menimbah ilmu dari Stube H.E.M.A.T, sebuah lembaga yang punya program pendampingan kepada mahasiswa dan pemuda dengan motto H-idup, E-fisien, M-andiri, A-nalitis, T-ekun (HEMAT) di Daerah Istimewah Yogyakarta, pada Jumad (24/6/2022) pekan lalu.
Lembaga yang beralamat di Jl.Taman Siswa No.1565C, Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta, Propinsi DI Yogyakarta ini dipimpin Pdt.Bambang Sumbodo sebagai Presiden Direktur, dan Ariani Narwastujati selaku Direktur Eksekutif, sekaligus penanggungjawab pada seluuh titik program di seluruh Indonesia. Pantauan media ini, kehadiran Manoak disambut ramah Pdt.Bambang beserta Ariani dan staf Stube HEMAT Dijelaskan Ariani, bahwa kegiatan Stube HEMAT merupakan proses menyiapkan mahasiswa dan generasi muda menjadi sumber daya manusia yang mempunyai kualitas dan manfaat bagi kemanusiaan.
Kesempatan itu, Manoak Bolingsau memaparkan bahwa wilayahnya sangat subur sehingga sering ia menyapa setiap orang yang datang ke Pantar Tengah dengan sapaan, “selamat datang di tanah kanaan, tanah yang penuh dengan susu dan madu”. Untuk mengolah tanah yang subur itu, Manoak mengaku ingin belajar dari daerah lain yang sukses mengembangkan potensi sumber daya alamnya sehingga bernilai ekonomis tinggi bagi masyarakat setempat. Karena itu, Manoak mengaku setelah berdiskusi dengan Bupati Alor, Drs.Amon Djobo, maka disepakati untuk pihaknya ke Yogyakarta untuk melihat dan memperlajari apa yang dilakukan Stube HEMAT agar bisa dikembangkan juga di Alor.

Manoak Bolingsau (duduk) saat menyampaikan tujuan kehadirannya di Stube HEMAT Jogja

“Kami hadir di sini (Yogyakarta) untuk mempelajari itu, sehingga ketika kembali ke Alor, bisa menerapkan dan mengembangkannya di Alor. Terutama terkait pemanfaatan potensi sumber daya alam yang ada pada kami, sehingga benar-benar bisa bermanfaat bagi masyarakat,”tandas Manoak.
Apa yang dikemukakan Camat Pantar Tengah ini disambut baik oleh Pdt.Bambang dan Ariani berserta stafnya sehingga langsung mempresentasikan sejumlah ilmu dan kiat-kiat jitu dalam mengembangkan potensi sumber daya alam, khususnya pertanian maupun perkebunan.
“Terima kasih sudah sampai di Yogyakarta dan mampir di Sekretatriat Stube HEMAT. Kita akan saling berbagi, apa yang kami punya dan apa yang bapak punya untuk kita diskusikan bersama, sehingga ke depannya kita bisa kembangkan untuk kesejahteraan masyarakat,”kata Ariani.
Stube HEMAT hadir di Yogyakarta sejak 1993 untuk menjawab permasalahan daerah. Ada delapan titik layanan yang tersebar di Indonesia yakni di Yogyakarta, Sumba, Bengkulu, Alor, Raja Ampat dan Lampung. Ada tiga titik konsentrasi pemberdayaan yakni terkait perempuan, pertanian dan peternakan. Dipaparkan Ariani, bahwa program ini memiliki visi; Terciptanya kesadaran manusia, khususnya mahasiswa dan pemuda untuk memahami masalah di sekitarnya. Pencapaian visi itu dengan beberapa langkah yang tertuang dalam misi lembaga ini, yakni; Memampukan mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan sosial atau membangun kemampuan kognitif. Memampukan mahasiswa untuk menyadari tanggungjawab mereka pada permasalahan sosial yang ada di sekitarnya, atau membangun kemampuan affektif. Memampukan mahasiswa untuk merencanakan masa depan mereka secara mandiri, atau mengembangkan kemampuan psikomotorik. Memampukan mahasiswa untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, atau empowerment. Kegiatan-kegiatan Stube HEMAT merupakan proses pembentukan Sumber Daya Manusia melalui diskusi, workshop, pelatihan, serta kunjungan lapangan yang akan membekali mahasiswa dan anak muda dengan berbagai pengetahuan, informasi dan keterampilan serta memantik gagasan-gagasan baru di setiap diskusinya.

Direktur Eksekutif Stube HEMAT, Ariani sedang memaparkan materi

Kepada Manoak Bolingsau dan rombongan, pihak Stube HEMAT mengetengahkan tiga topik diskusi, yakni pertama, terkait Pembuatan minuman wine dari bahan dasar buah jambu mente. Kedua tentang pemanfaatan air hujan sebai air minum, dan ketiga berkaitan dengan pemafaatan Lahan Pasir Pantai untuk bididaya pertanian. Setelah diskusi ketiga topik tersebut, langsung dilakukan studi lapangan bersama Pdt.Bambang dan Ariani ke lokasi di Gunung Kidul dan Pasir Pantai di jalur selatan Jawa, daerah Bantul.
Untuk topik pertama, Ariani menjelaskan terkait produksi Wine dari buah jambu mente. Maklum, jambu mente merupakan salah satu potensi unggulan di Pulau Pantar, Kabupaten Alor, tetapi sejauh ini hanya bijinya yang menghasulakan uang, sedangkan buahnya yang ranum dan manis, hanya jadi makanan ternak babi.
“Potensi itu sangat bagus karena buah-buah tropis seperti jambu mente, nenas, pisang dan salak itu bisa dibuat menjadi wine,”kata Ariani.
Menurutnya, Stube HEMAT sudah bergerak di Sumba sejak tahun 2008 dan melihat potensi jambu mente yang luar biasa. Karena itu pihaknya mengirim mahasiswa ke Sumba dan mereka membuat sirup jambu mente. Setelah itu, lanjut Ariani, Tahun 2020 Stube HEMAT masuk ke Alor, khususnya ke wilayah Alor Timur Laut yang juga punya potensi jambu mente. Tristan dari Stube HEMAT dan dua mahasiswa dari Jogja bertemu dengan Pdt.Sanci Oan di Desa Air Mancur, Alor Timur Laut yang punya keterpanggilan memanfaatkan alam. Pdt.Sanci meminta Stube HEMAT agar bisa membantu mereka untuk mengelola buah jambu mente, sehingga muncul ide untuk membuat wine dari buah mente. Sedangkan ampas buah mente bisa dibuat menjadi abon. Karena potensi mente juga banyak di Pulau Pantar, maka Tahun 2021, tim Stube HEMAT dipimpin Pdt.Bambang sampai ke Pulau Pantar, khususnya di wilayah Pantar Tengah. Sedangkan di Yogyakarta, ujar Ariani, sentra jambu mentenya di wilayah Gunung Kidul.

Memperlihatkan dua remaja putri di Alor sedang membersihkan buah jambu mente

Untuk mengembangkan suatu produk, jelas Ariani,kita tidak bisa berdiri sendiri, karena ada banyak hal yang terkait satu sama lain, yang namanya metode pentahelix. Pemerintah membuat kebijakan untuk memproduksi wine, maka perlindungan hukumnya seperti apa. Lalu kita berkolaborasi dengan akademisi untuk melakukan beberapa kali eksperimen produksi wine yang berkualitas, komudian dukungan dari komunitas bisnis atau investor. Sedangkan media massa menjadi mata, telinga, mulut untuk menyuguhkan informasi yang terpercaya dan berimbang sehingga bisa membumingkan produk supaya diminati pasar pada semua kalangan. Sedangkan masyarakat, ujar Ariani, sebagai ujung tombak dari strategi yang dirancang.
“Bagaimana kita mengelola masyarakat menjadi sumber daya manusia yang mengerjakan ini, berarti kita sudah menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran karena sudah bisa mendirikan sebuah pabrik yang memproduksi wine dengan berbagai cita rasa, seperti wine dari buah jambu mente, dari buah pisang, buah nenas dan jenis buah tropis lainnya yang potensial,”kata Ariani, seraya menambahkan bahwa ini merupakan metode pentahelix, bagaimana cara mengatasi masalah, mengembangkan program dengan melibatkan pihak-pihak dari berbagai sektor.
Jadi, lanjut Ariani, fokusnya pada kolaborasi antara pemerintah, pemangku kepentingan hingga masyarakat. Menurut Ariani, pihaknya sudah menyampaikan proposal kepada Bupati Alor, Drs.Amon Djobo,M.AP dan Kepala Bappelitbang Kabupaten Alor, Obeth Bolang,S.Sos.,M.AP, terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat menuju Alor Kenyang, Alor Sehat dan Alor Pintar.
“Luar biasa semangat pa Bupati Alor yang terus berupaya untu memberdayakan ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam yang ada,”tandas Ariani.
Selanjutnya Ariani dan sejumlah stafnya menerangkan bagaimana mengolah buah jambu mente untuk mghasilkan wine. Namun, Ariani mengingatkan bahwa mereka bukan ahli wine, sehingga selalu bekerja sama dengan akademisi.

Menjelaskan metode Pentahelix

“Ini butuh kerja sama dengan akademisi, yang ahli kimia dan ahli teknologi pertanian. Kami punya ide untuk membuat wine, tetapi kami bukan Ahli Wine, sehingga kita tentu harus kerja sama dengan akademisi yang ahli di bidangnya,”tandas Ariani, dibenarkan Pdt.Bambang.
Ariani kemudian menjelaskan berdasarkan referensinya yang sudah teruji, bahwa cara pertama yakni mendapatkan air intisari dari perasan buah jambu mente yang sudah matang/ranum, kemudian direbus hingga mendidih dan didiamkan, lalu proses vermentasi dengan ragi dengan takaran tertentu. Kalau mau memproduksi wine berkadar alkohol rendah, maka raginya tentu beda dengan wine yang beralkohol tinggi. Setelah proses mencampur ragi sesuai takaran tertentu, ke dalam air sari buah mente yang sudah didinginkan, lalu dimasukkan ke dalam tabung yang sudah disiapkan. Usahakan agar tidak boleh ada udara yang masuk ke tabung berisi air sari mente dan ragi tersebut, dengan menggunakan airlock atau pengunci udara. Lalu, jelas Ariani, tabung tersebut disimpan pada tempat dengan suhu yang bervariasi sesuai takaran, yakni antara 15-30, atau 30-35, 10-42, 7-35 derajat. Lamanya penyimpanan tabung berisi campuran air buah mente dan ragi tersebut, minimal selama tiga minggu sudah bisa dikonsumsi. Semakin lama, kata Ariani, kualitas wine yang dihasilkan akan semakin bagus. Menurutnya, paling bagus kalau tabung itu dibuka setelah tiga bulan. Setelah tiga bulan, demikian Ariani, maka wine tersebut sudah bisa disimpan di kulkas.

Ariani, Direktur Eksekutif Stube HEMAT hendak menyuguhkan aneka rasa wine

Kesempatan itu Ariani pun menyuguhkan aneka jenis dan rasa wine yang telah diproduksi Stube HEMAT untuk dicicipi Camat Pantar Tengah, Manoak Bolingsau dan rombongan, antara lain wine coffe (wine rasa kopi berwarna hitam), wine salak, wine pisang, wine nenas, dan wine kayu manis.
Pdt.Bambang berharap agar Camat Pantar Tengah mensosialisasikan kepada masyarakat di Pulau Pantar agar saat panen biji mente, agar buah mentenya jangan dibuang-buang tetapi dkumpulkan sehingga menjadi bahan baku pembuatan wine. Pihak Stube HEMAT berjanji akan datang ke Pulau Pantar pada saat musim panen mente.
Materi diskusi selanjutnya terkait bagaimana mengubah air hujan yang jatuh dari langit menjadi air minum yang berkualitas tinggi untuk kesehatan. Hal itu berdasarkan temuan salah satu pastor di Muntilan-Yogyakarta, bagaimana mengolah air hujan yang ditadah secara langsung dari langit, bukan menadah dari atap rumah atau lainnya. Menurut Pdt.Bambang, dengan menggunakan teknologi sederhana, tetapi tepat guna untuk mengolah air hujan untuk diminum ini seperti air berkat bagi kesehatan, termasuk untuk memenuhi kebutuhan air minum di daerah-daerah yang kesulitan mendapatkan air bersih akibat topografi yang sulit dijangkau.

Manoak Bolingsau (membelakangi kamera) serius memantau proses elektrisasi air hujan

Sejumlah wilayah di Kabupaten Alor, termasuk di Pulau Pantar yang masih kesulitan mendapat air bersih, maka bagi Camat Pantar Tengah, Manoak Bolingsau, bahwa materi yang didapat dari Stube HEMAT Yogyakarta ini sangat bermanfaat untuk dikembangkan di daerah ini. Ariani berpendapat, bahwa orang mengkonsumsi air minum tanpa peduli dengan berapa kadar Ph atau keasaman, dan kandungan pts atau kandungan material yang ada dalam air. Air mineral aqua, jelas Ariani, memang Ph-nya netral yakni 6,5. Sedangkan Ph yang lebih dari itu, biasanya pada air minum botol kemasan dengan kadar Ph 8+. Biasanya, Ph itu antara 0-14, dan air yang biasa dikonsumsi itu dengan kadar Ph antara 6,5 sampai 10. Kalau Ph semakin tinggi, harganya semakin mahal. Ariani menekankan, bahwa mengkonsumsi air dengan Ph yang tinggi, mampu mencegah penyakit jantung, bahkan kanker. Fungsi lainnya, lanjut Ariani, yakni menunda penuaan, mencegah asam lambung, menjaga kesehatan tulang, dan mencegah/menghambat pertumbuhan sel kanker.
“Saat ini ada terobosan baru, berdasarkan teknologi dari Jepang, kemudian dikembangkan seorang romo (Romo Mujito, seorang Pastor) di Muntilan, dan staf kami sudah belajar ke sana (ke Muntilan), dimana ada satu pendobrakan pemikiran, yakni memanen air hujan. Pada saat Tuhan curahkan air hujan ke bumi, itu merupakan air yang paling bagus. Karena apa, karena belum terkontaminasi setelah masuk ke dalam tanah,”tandas Ariani.

Proses filterisasi air hujan untuk dikonsumsi

Dijelaskan bahwa pada saat air hujan yang jatuh langsung dari langit itu, dipanen menggunakan wadah yang telah disiapkan. Selanjutnya, dengan teknologi, bisa dibuat treatment terhadap air hujan yang dipanen itu. Menurutnya, ini menjadi salah satu tujuan Sustanable Development Goals. Selanjutnya, Trisna selaku teknisi yang telah memperlajari cara merakit alat untuk proses filterasi air hujan yang dipanen (ditadah) langsung itu menjadi air minum berkualitas, mempresentasikannya kepada Camat Pantar Tengah, Manoak Bolingsau dan rombongan. Manoak nampak sangat tertarik dan antusias untuk menerapkan teknolgi tersebut di wilayahnya untuk membantu masyarakat yang kesulitan mendapat air bersih. Karena itu, Manoak memperlajarinya secara serius, dan akan ditindaklanjutnya nanti. Pendeta Bambang yang sudah berusia 70 tahun itu, meyakinkan Manoak Bolingsau, bahwa air hujan yang ditadah langsung dan telah dielektrifikasi dengan peralatan yang dirakit sendiri, sangat layak untuk diminum untuk kesehatan.
“Ini air hujan buatan Tuhan, bukan buatan manusia. Karena sudah dielektrifikasi maka layak untuk diminum dan memberi kesehatan bagi tubuh dan jiwa kita sebagai air hidup. Enak dan segar ketika diminum,”kata Bambang.

Dari kiri ke kanan: Pdt.Bambang, Ariani, Suyatin dan Manoak Bolingsau saat pemantauan lapangan di wilayah Gunung Kidul, Di Yogyakarta

Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan peninjauan ke lapangan. Camat Manoak Bolingsau dan rombongan dipandu Pdt.Bambang dan Ariani menuju wlayah Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Rombongan disambut Suyatin selaku Ketua RT.02, Desa Sumber Nggiri Suko, Kabupaten Gunung Kidul. Warga desa ini pun menjadi mitra Stube HEMAT karena wilayahnya juga menurut Pdt.Bambang seperti di Alor karena banyak tanaman jati dan juga jambu mente. Saat tiba, warga sedang bergotong royong mengerjakan bak air dari sumber mata air di kawasan hutan lindung Gunung Kidul. Sumber dananya dari koperasi desa, iuran masyarakat dan sumbangan pihak lain. Menurut Suyatin, Pdt.Bambang dan Stube HEMAT cukup membantu warga setempat sejak bencana gempa bumi Yogyakarta pada Tahun 2006.

Supandi (bertopi) Ketua Kelompok Tani Manunggal di Bantul sedang berbincang dengan Camat Pantar Tengah, Manoak Bolingsau

Setelah itu, rombongan menuju Jalur Selatan Jawa untuk melihat pengolahan lahan pertanian di kawasan Pantai Pasir. Disebut Pantai Pasir karena kawasan yang luas itu merupakan hamparan tanah berpasir halus yang luas milik kerajaan setempat. Rombongan disambut seorang Ketua Kelompok Tani yang akrab disapa mas Pandi. Kesempatan itu, Manoak Bolingsau nampak mencaritahu informasi dari Pandi tentang bagaimana proses mengolah lahan Pasir Pantai itu dengan teknologi tepat guna untuk mengembangkan tanaman sayuran, terutaman bawang dan cabai yang sangat prospektf. Maklum, Manoak sangat berikeinginan untuk mengalihfungsikan lahan tambak garam di wilayah pantai Pantar Tengah yang mubasir untuk lahan pertanian untuk mengembangkan tanaman sayuran, termasuk bawang dan cabai. Pandi mengatakan, untuk merekayasa lahan tambak garam menjadi lahan pertanian sudah pernah ia lakukan di Semarang, Purwodadi dan hasilnya memuaskan karena garam itu juga pupuk, tinggal ditambahkan dengan pupuk kandang. Hal ini membuat Manoak Bolingsau bersemangat mendengar penjelasan dan testimoni Pandi sehingga ia bisa terapkan di Pantar Tengah.

Supandi sedang memberi penjelasan kepada Manoak Bolingsau

Pandi menjelaskan berbagai tahapan mulai dari penyiapan lahan, bibit, penanaman, penyiraman hingga panen dan paska panen. Pandi mengaku punya lahan 1 hektare yang ditanami bawang merah, diselingi cabai atau lombok. Modal yang dihabiskan Pandi untuk mengolah 1 hektar lahan, membeli bibit, pupuk, peralatan siram dan sebegainya itu sebesar Rp 60 juta lebih. Angka yang cukup mahal karena menurut Pandi, harga benih bawang sedang meningkat. Tetapi hasil panen, kata Pandi, mencapai kurang lebih 15 ton bawang merah. Jika dijual, dengan harga bawang merah misalnya paling rendah Rp 10.000/Kg, jika dikalikan dengan 15.000 Kg, sama dengan Rp Rp 150.000.000.

Pimpinan Stube HEMAT dan Camat Pantar Tengah bersama Supandi

“Jadi habis modal Rp 60-an juta untuk beli bibit, pupuk kandang, tenaga kerja, peralatan, pestisida dan sebagainya, tetapi hasil panennya dalam satu hektare itu 15 ton, kalau dikalikan Rp 10.000 saja per Kilo Gram sudah mendapat Rp 150 juta. Jadi hasil Rp 150 juta dikurangi Rp 60 juta, kan masih untung Rp 90 Juta dalam tempo kurang dari dua bulan atau 50 hari. Apalagi kalau harga bawang merah saat ini Rp 45.000/Kg, maka kalikan saja untungnya,”kata Supandi.
Jika harga bawang saat ini Rp 45.000/Kg maka dikalikan dengan hasil panen dari lahan 1 hektare sebanyak 15 ton atau 15.000 Kg, sama dengan Rp 675 Juta. Keuntungan yang fantastis jika dikurangi dengan biaya produksi yang hanya sekitar 60-an juta/hektare.

Seorang ibu petani sedang menanam anakan cabai di sela-sela tanaman bawang

Menurut Supandi, petani di Pantai Pasir, jalur Selatan Jawa menjual hasil panen bawang dan cabai ke pasar lelang di seluruh Indonesia, bahkan sampai ekspor ke Singapura dan Malaysia. Menurutnya, penjualan per kelompok tani itu dalam sehari mencapai 20-30 ton bawang merah. Hasil itu belum termasuk tanama cabai, yang bisa sampai 30 kali panen baru dilakukan peremajaan lagi. Pembibitan cabai, jelas Supandi, sampai umur 15 hari sudah bisa dipindahkan untuk ditanam di celah-celah tanaman bawang.
“Makanya orang Jawa yang ke NTB atau NTT menyewa lahan untuk usaha tanam bawang dan cabai itu menjadi kaya karena tahu cara mengolah dan menjualnya,”kata Supandi, Ketua Kelompok Tani Manunggal, beranggotakan 150 petani di Pasir Pantai, Bantul,Yogyakarta (ap/linuskia)

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *